Studi: Bisnis Sawit Tidak Selalu Sejalan dengan Kesejahteraan Masyarakat Setempat oleh - seputarplanetid.xyz

<p>Halo sahabat selamat datang di website <a href="https://seputarplanetid.xyz">seputarplanetid.xyz</a>, pada kesempatan hari ini kita akan membahas seputar <b>Studi: Bisnis Sawit Tidak Selalu Sejalan dengan Kesejahteraan Masyarakat Setempat oleh - seputarplanetid.xyz</b>, kami sudah mempersiapkan artikel tersebut dengan informatif dan akurat, silahkan membaca</p><p> </p> <ul> <li><em>Apakah kehadiran industri sawit di satu daerah mampu mesejahterakan masyarakat hingga tingkat tapak atau hanya segelintir orang? Penelitian Yayasan Madani, Maret lalu mencoba menjawab isu ini. Madami menyandingkan data produk domestik regional bruto (PDRB) di wilayah yang memiliki luasan sawit terluas di Indonesia. Hasilnya?</em></li> <li> <em>Trias Fetra Ramadhan, peneliti Yayasan Madani mengatakan, tren penambahan luas lahan sawit tidak seiring dengan kenaikan produktivitas sawit Indonesia. Produktivitas sawit dinilai stagnan berdasarkan data Ditjenbun 2010-2019, sebesar pada 2013, sebesar 3,5 ton per hektar dan 3,6 ton per hektar pada 2018.</em></li> <li> <em>Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani mengatakan, nilai devisa yang disumbangkan bisnis sawit mencapai Rp289 triliun per tahun, namun petani dan rakyat kecil masih belum mendapatkan kesejahteraan dari industri ini.</em></li> <li> <em>Berdasarkan<span style="color: #339966;"> <a style="color: #339966;" href="https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S0264837718314923">studi</a></span> Santika dkk. terkait perubahan lanskap, mata pencaharian dan kesejahteraan desa di sekitar perkebunan sawit di Kalimantan memperlihatkan, masyarakat dari beberapa desa bersawit pendapatan lebih tinggi. Meskipun begitu, akses makanan, air, kesehatan lebih rendah dibadingkan desa yang tak menanam sawit.</em></li> </ul> <p> </p> <p>Pemerintah Indonesia kerap mengatakan, industri sawit merupakan andalan pemasukan negara dan sektor prioritas. Apakah kehadiran industri sawit di satu daerah mampu mesejahterakan masyarakat hingga tingkat tapak atau hanya segelintir orang? Penelitian Yayasan Madani, Maret lalu mencoba menjawab isu ini. Madami menyandingkan data produk domestik regional bruto (PDRB) di wilayah yang memiliki luasan sawit terluas di Indonesia. Hasilnya?</p> <p>“Dari 10 provinsi dengan rata-rata penambahan luas lahan terbesar hanya tiga yang masyarakat pedesaannya memiliki kesejahteraan tinggi,” kata Trias Fetra Ramadhan, peneliti Yayasan Madani, belum lama ini.</p> <p>Berdasarkan data Statistik Komoditas Sawit, Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian 2010-2019, ada lima provinsi di Indonesia yang memiliki laju pertambahan luas perkebunan sawit tertinggi, yakni, Riau (105.000 hektar), Kalimantan Barat (98.918 hektar), Kalimantan Timur (72.478 hektar), Kalimantan Tengah (68.184 hektar) dan Sumatera Utara (50.000 hektar).</p> <p><strong>Baca juga: <span style="color: #339966;"><a style="color: #339966;" href="https://www.mongabay.co.id.2020/05/20/kebun-sawit-riau-terluas-tak-jamin-rakyat-sejahtera-dan-berdaulat-pangan/">Kebun Sawit Riau Terluas, Tak Jamin Rakyat Sejahtera dan Berdaulat Pangan</a> </span></strong></p> <p>Kemudian disusul Jambi (38.974 hektar), Sumatera Selatan (37.590), Aceh (19.947), Kalimantan Selatan (17.533), dan Sumatera Barat (14.163 hektar).</p> <p>Sayangnya, kata Trias, tren penambahan luas lahan sawit ini tidak seiring dengan kenaikan produktivitas sawit Indonesia. Produktivitas sawit dinilai stagnan berdasarkan data Ditjenbun 2010-2019, sebesar pada 2013, sebesar 3,5 ton per hektar dan 3,6 ton per hektar pada 2018.</p> <p>Kondisi ini, katanya, perlu ada pembenahan tata kelola yang harus jadi fokus semua pihak dalam mengurai permasalahan perkebunan sawit Indonesia.</p> <p><strong>Baca juga: <span style="color: #339966;"><a style="color: #339966;" href="https://wwwmongabay.co.id/2019/10/07/potret-perempuan-iban-dan-orang-rimba-kala-hutan-hilang-jadi-kebun-sawit/">Potret Perempuan Iban dan Orang Rimba Kala Hutan Hilang jadi Kebun Sawit</a></span></strong></p> <p>Sebuah provinsi disebut memiliki kesejahteraan tinggi dilihat dari rata-rata nasional konsumsi non makanan sebesar 42,15%, yang ditetapkan Badan Pusat Statistik Nasional 2019. Provinsi yang termasuk dalam kriteria itu memiliki komoditas sawit adalah Riau 43,63%, Kalimantan Timur 47.03%, dan Jambi 42.33%.</p> <p>Meski demikian, tidak sepenuhnya kesejahteraan masyarakat desa di tiga provinsi itu bersumber dari sawit. Di Riau, misal, desa bersawit 44,2% atau 1.875 desa, Kalimantan Timur 27,2% (841 desa), dan Jambi 22,8% (1.399 desa). Desa lain memiliki komoditas unggulan berupa karet dan kelapa. Di Jambi, memiliki karet dan kayu manis.</p> <p>“Keuntungan yang dianggap komoditas strategis dan prioitas itu ternyata tidak signifikan berdampak pada masyarakat sekitar perkebunan sawit,” katanya.</p> <p> </p> <p><img alt="Orang Rimba hidup di bawah sudung, semacam tenda dari terpal dan kayu. Mereka hidup berpindah-pindah mencari apapun yang bisa untuk bertahan hidup. Foto: Pailin Wedel untuk Human Rights Watch" class="alignnone size-full wp-image-79159" height="463" sizes="(max-width: 900px) 100vw, 900px" src="https://www.mongabay.co.id/wp-content/uploads/2020/05/Sawit-HRW-7K6A7611_1665.jpg" srcset="https://www.mongabay.co.id/wp-content/uploads/2020/05/Sawit-HRW-7K6A7611_1665.jpg 900w, https://www.mongabay.co.id/wp-content/uploads/2020/05/Sawit-HRW-7K6A7611_1665-768x395.jpg 768w" width="900" /></p> <p><em>Orang Rimba hidup di bawah sudung, semacam tenda dari terpal dan kayu. Mereka hidup berpindah-pindah mencari apapun yang bisa untuk bertahan hidup. Foto: Pailin Wedel untuk Human Rights Watch</em></p> <p><img alt="" class="alignnone size-full wp-image-80141" height="606" sizes="(max-width: 1328px) 100vw, 1328px" src="https://www.mongabay.co.id/wp-content/uploads/2020/07/Madani-Screen-Shot-2020-07-04-at-9.46.43-PM.jpg" srcset="https://www.mongabay.co.id/wp-content/uploads/2020/07/Madani-Screen-Shot-2020-07-04-at-9.46.43-PM.jpg 1328w, https://www.mongabay.co.id/wp-content/uploads/2020/07/Madani-Screen-Shot-2020-07-04-at-9.46.43-PM-768x350.jpg 768w" width="1328" /></p> <p> </p> <p><strong>Siapa yang menikmati?</strong></p> <p>Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani mengatakan, nilai devisa yang disumbangkan bisnis sawit mencapai Rp289 triliun per tahun, namun petani dan rakyat kecil masih belum mendapatkan kesejahteraan dari industri ini.</p> <p>Industri sawit ini, katanya, dinilai banyak menguntungkan segelintir orang. Tata kelola bisnis ini hanya memberikan keuntungan kepada usaha, pebisnis dan tuan tanah yang memiliki lebih dari delapan hektar tanah.</p> <p>Dia bilang, banyak permasalahan kompleks dihadapi pada sektor perkebunan sawit, mulai masalah legalitas lahan hingga produktivitas petani minim.</p> <p>Ada sekitar 79% petani masih belum memiliki sertifikat tanah, 54% petani belum gunakan bibit bersertifikat pemerintah dan 71% petani tak memiliki kelembagaan resmi.</p> <p>“Hasil analisis kami, 90% petani sawit di Indonesia menanam benih tanpa ada pendampungan atau secara otodidak. Hingga produksi sawit pun tidak maksimal,” kata Teguh.</p> <p>Kondisi tambah buruk dengan banyak tengkulak sawit menekan tandan buah sawit (TBS) dengan harga sangat rendah. Berdasarkan data Madani, ada 73% petani menjual TBS ke tengkulak yang membuat harga sangat murah.</p> <p>Hasil analisis Yayasan Madani, upaya menyejahterakan masyarakat di daerah bisa fokus menyeimbangkan antar jenis komoditas. Contoh, di Jambi dan Riau, disebutkan memiliki kesejahteraan dari rata-rata nasional, namun masing hasing memiliki desa yang tak bersawit lebih besar, masing masing 77,2% (Jambi) dan 55,8% (Riau).</p> <p>Kedua daerah itu, katanya, memiliki komoditas unggulan lain seperti karet dan kelapa untuk Riau dengan produksi 2018 mencapai 400.000 ton per tahun. Karet dan kayu manis di Jambi dengan produksi masing-masing 300.000 dan 60.000 ton per tahun.</p> <p> </p> <figure id="attachment_78253" class="wp-caption alignnone"><img alt="" class="size-full wp-image-78253" height="601" sizes="(max-width: 900px) 100vw, 900px" src="https://www.mongabay.co.id/wp-content/uploads/2020/04/gajah-mati.jpg" srcset="https://www.mongabay.co.id/wp-content/uploads/2020/04/gajah-mati.jpg 900w, https://www.mongabay.co.id/wp-content/uploads/2020/04/gajah-mati-768x513.jpg 768w" width="900" /><figcaption class="wp-caption-text">Gajah sumatera jantan yang ditemukan membusuk di areal kebun sawit PT. Makmur Inti Bersaudara yang dulunya bekas HGU PT. Dwi Kencana Semesta di Aceh Timur, 15 April 2020. Foto: Dok. Forum Konservasi Leuser</figcaption></figure> <p><img alt="" class="alignnone size-full wp-image-80142" height="600" sizes="(max-width: 1307px) 100vw, 1307px" src="https://www.mongabay.co.id/wp-content/uploads/2020/07/Madani-Screen-Shot-2020-07-04-at-9.46.57-PM.jpg" srcset="https://www.mongabay.co.id/wp-content/uploads/2020/07/Madani-Screen-Shot-2020-07-04-at-9.46.57-PM.jpg 1307w, https://www.mongabay.co.id/wp-content/uploads/2020/07/Madani-Screen-Shot-2020-07-04-at-9.46.57-PM-768x353.jpg 768w" width="1307" /></p> <p> </p> <p><strong>‘Sejahtera’, tetapi…</strong></p> <p>Berdasarkan <span style="color: #339966;"><a style="color: #339966;" href="https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S0264837718314923">studi</a> </span>Santika dkk. terkait perubahan lanskap, mata pencaharian dan kesejahteraan desa di sekitar perkebunan sawit di Kalimantan memperlihatkan, masyarakat dari beberapa desa bersawit pendapatan lebih tinggi. Meskipun begitu, akses makanan, air, kesehatan lebih rendah dibadingkan desa yang tak menanam sawit.</p> <p>Adapun, manfaat ekonomi signifikan bagi masyarakat desa itu bersifat terbatas hanya pada desa mayoritas masyarakat memiliki pengetahuan pengelolaan perkebunan dan informasi ekonomi pasar, seperti desa yang punya perkebunan polikultur.</p> <p>Sedang desa yang mayoritas masyarakat bergantung pada mata pencaharian tradisional, seperti pertanian, berburu berladang dan memancing memang menfaat ekonomi hanya berlangsung beberapa tahun, namun memiliki modal sosial budaya lebih tinggi.</p> <p>Penelitian ini merekomendasikan, pemerintah negara produsen harus mengevaluasi tujuan pengembangan sawit tak hanya pada keuntungan ekonomi, juga memerlukan pemeliharaan kesejahteraan sosial-ekonomi pada komunitas lokal di masa depan.</p> <p>Indikator itu, menentukan keberhasilan apakah sektor sawit bisa membawa manfaat ekonomi dan kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh dan jangka panjang atau tidak.</p> <p> </p> <p><img alt="" class="alignnone size-full wp-image-80143" height="570" sizes="(max-width: 1293px) 100vw, 1293px" src="https://www.mongabay.co.id/wp-content/uploads/2020/07/Madani-Screen-Shot-2020-07-04-at-9.47.13-PM.jpg" srcset="https://www.mongabay.co.id/wp-content/uploads/2020/07/Madani-Screen-Shot-2020-07-04-at-9.47.13-PM.jpg 1293w, https://www.mongabay.co.id/wp-content/uploads/2020/07/Madani-Screen-Shot-2020-07-04-at-9.47.13-PM-768x339.jpg 768w" width="1293" /></p> <p> </p> <p><strong>Konflik dan bencana </strong></p> <p>Berdasarkan data Statistik Perkebunan Indonesia: Komoditas Sawit 2011-2018, laju penambahan lahan sawit tertanam pada 2017 mencapai 17,7% dibandingkan tahun sebelumnya. Angka ini tertinggi dalam kurun waktu delapan tahun terakhir.</p> <p>Kenaikan luas perkebunan sawit pada 2017, tercatat oleh Konsorsium Pembaharuan Agraria terjadi banyak konflik agraria di sektor perkebunan sawit. Pada 2017, ada 298 konflik, 2011 (97), 2012 (90), 2013 (90), 2014 (185), 2015 (127), 2016 (163) dan 2018 (144) kasus.</p> <p>“Persoalan sawit bukan masalah ekonomi semata tapi ada dampak lain yang dirasakan masyarakat tingkat tapak, yakni konflik agraria,” kata Trias.</p> <p>Dampak buruk lain dari perluasan lahan sawit seperti deforestasi, mengancam keragaman hayati, memicu konflik agraria dan menyebabkan kebakaran hutan.</p> <p>Bencana alam pun mengintai masyarakat. Kalau melihat provinsi yang alami deforestasi karena sawit, terjadi banjir dan longsor. Dia contohkan, Aceh, deforestasi tertinggi pada 2011, meski tidak langsung berdampak pada lingkungan, tetapi meningkatkan bencana longsor dan banjir tinggi pada 2015 dan 2018. Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana, pada kedua tahun itu masing-masing terjadi bencana 142 dan 190-an kejadian.</p> <p> </p> <p>Keterangan foto utama:  Kebakakaran di kebun sawit warga di lahan gambut, yang tak hanya meludeskan kebun juga kendaraan dan rumah mereka. Foto: Zamzami/ Mongabay Indonesia</p> <figure id="attachment_67063" class="wp-caption alignnone"><img alt="" class="size-full wp-image-67063" height="900" sizes="(max-width: 1200px) 100vw, 1200px" src="https://www.mongabay.co.id/wp-content/uploads/2018/12/Sawit03.jpeg" srcset="https://www.mongabay.co.id/wp-content/uploads/2018/12/Sawit03.jpeg 1200w, https://www.mongabay.co.id/wp-content/uploads/2018/12/Sawit03-768x576.jpeg 768w, https://www.mongabay.co.id/wp-content/uploads/2018/12/Sawit03-100x75.jpeg 100w" width="1200" /><figcaption class="wp-caption-text">Masalah lingkungan juga menjadi ancaman bagi industri sawit. Sawit yang diekspor juga ada sawit rakyat sehingga kita perlu perbaikan tata kelola. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.</figcaption></figure> <p> </p> <p>Itulah tadi informasi dari <a href="https://depotjudi.com/">joker123</a> mengenai <b>Studi: Bisnis Sawit Tidak Selalu Sejalan dengan Kesejahteraan Masyarakat Setempat oleh - seputarplanetid.xyz<b> dan sekianlah artikel dari kami <a href="https://seputarplanetid.xyz">seputarplanetid.xyz</a>, sampai jumpa di postingan berikutnya. selamat membaca. </p>

Studi: Bisnis Sawit Tidak Selalu Sejalan dengan Kesejahteraan Masyarakat Setempat oleh - seputarplanetid.xyz

Halo sahabat selamat datang di website seputarplanetid.xyz , pada kesempatan hari ini kita akan membahas seputar Studi: Bisnis Sawit Tidak S...

Read more »

Krisis Kesehatan, Pengetahuan Ekologis, dan Kebijakan Publik oleh - seputarplanetid.xyz

<p>Halo sahabat selamat datang di website <a href="https://seputarplanetid.xyz">seputarplanetid.xyz</a>, pada kesempatan hari ini kita akan membahas seputar <b>Krisis Kesehatan, Pengetahuan Ekologis, dan Kebijakan Publik oleh - seputarplanetid.xyz</b>, kami sudah mempersiapkan artikel tersebut dengan informatif dan akurat, silahkan membaca</p><p>Pada 2004, Profesor Jared M. Diamond memberikan kuliah umum (<em>public lecture</em>) atas undangan National Council for Science and the Environment, Amerika Serikat. Judul pidato yang dibawakannya sangat menarik bahkan penting dibaca saat ini: <em>Lessons from Environmental Collapses of Past Societies </em>(Pelajaran dari Keruntuhan-keruntuhan Masyarakat Masa Lalu).</p> <p>Judul pidato ini bukan hanya semacam ringkasan penyederhanaan atas sekian buku ilmiah karya Jared Diamond yang sudah menjadi bacaan publik dunia termasuk di Indonesia, seperti: <em>The Third Chimpanzee: The Evolution and Future of the Human Animal</em> (1991); <em>Guns, Germs, and Steel: The Fate of Human Societies</em> (1997); <em>Collapse: How Societies Choose to Fail or Succeed</em> (2005), <em>The World Until Yesterday</em> (2012), dan <em>Upheaval</em> (2019).</p> <p>Tapi juga refleksi Jared Diamond atas perjalanan karier keilmuannya dalam meneliti dan menyaksikan kebangkitan dan keruntuhan suatu masyarakat dari masa-masa yang berbeda di berbagai sudut bumi.</p> <p>Pidato Jared Diamond memang lebih spesifik menyoroti penghancuran hutan, khususnya di Easter Island yang punya peninggalan batu-batu raksasa untuk peribadatan. Di luar fokus kasus pidato Jared Diamond, ada satu masalah penting yang diajukannya: mengapa ada masyarakat yang runtuh, tapi ada yang bisa bertahan terutama saat menghadapi krisis alam seperti wabah virus atau kehancuran lingkungan?</p> <p>Masalah ini, kata Jared Diamond, bukan saja menjadi kasus romantik secara intelektual dan ilmiah saintifik, tapi tentu saja terutama sangat penting bagi para pengambil kebijakan publik, juga masyarakat.</p> <p>Jared Diamond memberikan sketsa penting pola pikir dan perilaku pembuatan keputusan publik saat menghadapi krisis lingkungan atau wabah. Ada tiga hal penting kenapa kelompok masyarakat bisa gagal bahkan hancur kehidupannya dan kenapa ada yang berhasil mengatasinya.</p> <p>Tiga hal ini juga penting sebagai introspeksi kolektif dalam menghadapi wabah COVID-19.</p> <p> </p> <figure id="attachment_80366" class="wp-caption alignnone"><a href="https://www.mongabay.co.id/wp-content/uploads/2020/07/Moais_Isla_de_Pascua._-_panoramio.jpg"><img alt="" class="wp-image-80366 size-large" height="800" sizes="(max-width: 1200px) 100vw, 1200px" src="https://www.mongabay.co.id/wp-content/uploads/2020/07/Moais_Isla_de_Pascua._-_panoramio-1200x800.jpg" srcset="https://www.mongabay.co.id/wp-content/uploads/2020/07/Moais_Isla_de_Pascua._-_panoramio-1200x800.jpg 1200w, https://www.mongabay.co.id/wp-content/uploads/2020/07/Moais_Isla_de_Pascua._-_panoramio-768x512.jpg 768w" width="1200" /></a><figcaption class="wp-caption-text">Pulau Paskah (Easter Island) yang terletak di Samudera Pasifik. Dikenal dengan patung-patung batu besarnya. Kehancuran ekologi pulau ini menyebabkan hilang dan hancurnya peradaban masyarakatnya. Foto: Horacio Fernandez/ Wikipedia <a class="extiw" title="w:en:Creative Commons" href="https://en.wikipedia.org/wiki/en:Creative_Commons">Creative Commons</a> <a class="external text" href="https://creativecommons.org/licenses/by/3.0/deed.en" rel="nofollow">Attribution 3.0 </a></figcaption></figure> <p><strong> </strong></p> <p><strong>Tiga Penyebab Kegagalan</strong></p> <p>Yang <em>pertama</em>, apakah masyarakat itu sudah mengantisipasi masalah yang akan dihadapi. Suatu masyarakat gagal mengantisipasi masalah sebelum masalah tersebut datang, khususnya jika mereka belum pernah punya pengalaman menghadapi masalah tersebut sebelumnya.</p> <p>Antisipasi adalah penyelamat yang paling pertama. Tapi, antisipasi adalah yang sering paling diabaikan bahkan diremehkan oleh masyarakat khususnya pengambil kebijakan publik.</p> <p>Warga dunia, khususnya Indonesia, tidak pernah menghadapi COVID-19. Tapi, bukan berarti orang Indonesia atau warga dunia belum pernah menghadapi wabah virus. Catatan sejarah kedokteran dari kurun modern, selama 100 tahun terakhir, seharusnya sudah cukup menjadi pengalaman kolektif warga dunia.</p> <p>Penduduk Indonesia (Hindia Belanda dulu) sudah pernah mengalami wabah influenza, wabah kolera, wabah cacar, juga wabah beriberi yang penyebab utama dan obatnya ditemukan dokter Christiaan Eijkman. Apakah itu cukup dipahami sebagai pengetahuan-peringatan kolektif?</p> <p>Yang <em>kedua</em>, kegagalan memahami pokok masalah ketika masalah itu sudah tiba. Ilmu pengetahuan yang dimiliki masyarakat (dalam format apa pun) tidak mampu memberi petunjuk yang benar dan tidak sesuai dengan pokok masalah yang dihadapi.</p> <p>Kesiapan ilmu pengetahuan, infrastruktur lembaga penelitian ilmiah, atau rumah sakit dengan fasilitas infrastrukturnya, adalah faktor yang sangat penting keberhasilan atau kegagalan masyarakat menghadapi krisis dan wabah.</p> <p>Peringatannya sangat jelas: kebodohan menghancurkan masyarakat.</p> <p>Sejak zaman dahulu kala, ilmu menjadi faktor penting dalam memahami atau gagalpaham terhadap suatu krisis atau wabah penyakit. Sejarah rumah sakit dan ilmu pengetahuan kedokteran yang hadir di sisi para penguasa, baik melalui ahli nujum, para agamawan yang religius, sampai ahli kedokteran dengan basis ilmu sains modern, adalah bagian penting apakah suatu masyarakat bisa gagal bahkan hancur saat menghadapi krisis kesehatan.</p> <p>Yang <em>ketiga</em> adalah perilaku rasional (<em>rational behaviors</em>) yang mengatakan kepada mereka bahwa, meskipun mempunyai ilmu penangkal kehancuran tata masyarakat dan sangat paham dampak krisis atau wabah yang menerjang mereka, tapi mereka sama sekali tidak mengantisipasi bahkan tidak berusaha menghalaunya.</p> <p>Perilaku ini adalah apa yang bisa disebut sebagai tragedi kolektif atau bahkan bunuh diri berjemaah. Perilaku yang mengherankan tak mengindahkan peringatan ilmu ini biasanya karena sebagian dari kelompok masyarakat itu, khususnya elite politik pengambil kebijakan publik, akan segera terkena dampak langsung jika segera dilakukan antisipasi, pencegahan, atau pengobatan-penghalauan krisis atau wabah.</p> <p>Ada benturan dan pertarungan kepentingan antarkelompok (ekonomi, politik, agama) yang menghalangi antisipasi, penanggulangan, dan penghalauan.</p> <p>Para elite pengambil kebijakan ini, yang paling mungkin mengetahui pokok masalahnya tapi memilih berpikir rasional untuk jangka pendek, hanya membuat kebijakan jangka pendek untuk menyelamatkan kepentingan mereka saja.</p> <p>Mereka tidak melihat jauh ke masa depan. Ironisnya, seiring berkembangnya krisis atau wabah, justru kebijakan itulah yang semakin memperparah krisis. Inilah yang terjadi dengan masyarakat Easter Island yang akhirnya hancur.</p> <p>Selain benturan kepentingan sosial-ekonomi, benturan antarkelompok itu biasanya juga diikuti oleh benturan kepentingan nilai religius. Dalam kasus masyarakat Easter Island, para elite agamawan sangat membutuhkan kayu besar untuk mendirikan-menegakkan batu-batu besar sebagai bentuk kejayaan dan kebesaran mereka sebagai penguasa.</p> <p>Untuk itu, pohon-pohon besar di hutan harus ditebang, padahal kebutuhan pokok ekonomi sangat membutuhkan keberadaan hutan. Di sini, agama hanya menjadi penguat penghancuran masyarakat.</p> <p><strong><em>Baca juga:</em> <a href="https://www.mongabay.co.id/2020/05/22/jane-goodall-covid-19-adalah-produk-hubungan-tidak-selaras-manusia-dengan-satwa-dan-lingkungan/">Jane Goodall: COVID-19 adalah Produk Hubungan Tidak Selaras Manusia dengan Satwa dan Lingkungan</a></strong></p> <p> </p> <figure class="wp-caption alignnone"><img class="size-medium" height="581" src="https://www.mongabay.co.id/wp-content/uploads/2019/02/riau-6b8374f3-7d85-48ce-b33b-66a73b28c740.jpeg" width="1032" /><figcaption class="wp-caption-text">Kebakaran hutan dan lahan gambut. Kebijakan publik yang keliru membuat kerusakan ekologis dan memabawa dampak pada kerugian warga. Dok: BNPB</figcaption></figure> <p> </p> <p><strong>Koreksi dan Introspeksi</strong></p> <p>Jika tiga hal itu dijadikan sebagai instrumen untuk mengetahui apakah Indonesia bakal berhasil atau justru gagal menghadapi COVID-19, maka, <em>pertama</em>, kita bertanya membuat pertanyaan sederhana kepada pemerintah dan rakyat Indonesia: apakah sejak awal sudah mengantisipasi penyebaran COVID-19 yang hampir pasti masuk ke Indonesia?</p> <p>Apakah ada tim ilmuwan/dokter khusus untuk mempelajari, mengamati, dan membuat rekomendasi tegas kepada pemerintah pusat dan daerah bagaimana COVID-19 itu bekerja, menyebar, dan menular, apa obatnya, bagaimana mengatasinya secara bertahap.</p> <p>Lalu sebagai kebijakan: apa saja yang perlu dipersiapkan sebelum dan sesudah COVID-19 masuk ke Indonesia pertama kali.</p> <p>Apakah sudah ada persiapan rumah sakit khusus untuk menangani COVID-19 jika sudah masuk ke Indonesia, dan apakah ada tim pelacak khusus yang bertugas melacak jejak perjalanan perderita (<em>carier</em>) COVID-19?</p> <p>Secara kasar, jika kita ikuti jejak ucapan para pengambil kebijakan tertinggi Indonesia, kita bisa sepakat: tak ada kebijakan antisipasi sama sekali saat kita mendengar beritanya dari Wuhan, Tiongkok.</p> <p>Pertanyaan yang sangat penting adalah: apakah masyarakat Indonesia sudah membuat kebijakan antisipasi atau justru tidak sama sekali? Silakan Anda menilai ucapan para pejabat atau tokoh masyarakat kita termasuk orang-orang di sekitar Anda dengan tajam dan keras, mulai dari sejak berita COVID-19 di Tiongkok, hari-hari ini, sampai akhir tahun 2020 nanti.</p> <p><em>Kedua</em>, kita bisa bertanya: apakah elite pengambil keputusan publik sudah mempunyai atau menggunakan ilmu yang bisa dipercaya kebenaran kehandalannya untuk mengatasi krisis atau wabah yang sedang dihadapinya?</p> <p>Apakah yang dikatakan oleh para pemegang otoritas kebijakan publik (pejabat pemerintah, agamawan, ilmuwan sekular/religius, atau bahkan pengusaha) kepada masyarakat sudah berbasis ilmu yang bisa dipercaya teruji kebenarannya?</p> <p>Keputusan publik seharusnya berbasis ilmu yang terbukti empiris, bukan sentimen rasial atau keyakinan tak teruji objektif-ilmiah. Maka, perhatikanlah ucapan orang-orang di sekitar Anda katakan dan siapa yang secara tidak langsung telah merevisi ucapannya sendiri tentang COVID-19.</p> <p>Nilai mereka dengan keras dan tegas! Ingat: kebodohan adalah pangkal kehancuran masyarakat.</p> <p><em>Ketiga</em>, setelah Indonesia akhirnya juga terjangkiti COVID-19, setelah para elite pengambil kebijakan saling lempar ucapan, setelah korban pertama dan berikutnya terus dan terus berjatuhan, setelah masyarakat mulai resah tapi juga tak acuh, apakah mereka dan kita semua membuat kebijakan hanya yang terkait dengan kepentingan kita masing-masing tanpa ada prioritas bagi kebaikan-kemaslahatan bersama di masa depan?</p> <p>Apakah sudah tampak kebijakan yang sistematis dan bertahap yang diketahui bersama dari kebijakan yang kecil sampai yang tingkat ekstrem dalam menghadapi krisis atau wabah dan apakah kebijakan ini bisa dipatuhi masyarakat Indonesia?</p> <p><strong><em>Baca juga:</em> <a href="https://www.mongabay.co.id/2020/05/11/covid-19-dan-hukum-lingkungan-era-antroposen/">COVID-19 dan Hukum Lingkungan Era Antroposen</a></strong></p> <p> </p> <figure class="wp-caption alignnone"><img class="size-medium" height="2263" src="https://www.mongabay.co.id/wp-content/uploads/2019/09/karhutla-Murid-SDN-189-Pekanbaru-sebelumnya-tidak-mengenakan-masker-ke-sekolah.-Sebagian-hanya-menggunakan-masker-kain-yang-dicuci-ulang..jpg" width="4608" /><figcaption class="wp-caption-text">Kesehatan warga termasuk generasi penerus dipertaruhkan dengan adanya krisis ekologis yang terjadi saat ini. Foto: Suryadi/Mongabay Indonesia</figcaption></figure> <p> </p> <p><strong>Kekonyolan yang Berbahaya</strong><strong> </strong></p> <p>Perilaku masyarakat dahulu kala dengan sekarang, dalam banyak hal tidak begitu berbeda saat menghadapi krisis kesehatan atau wabah. Benturan kepentingan antarkelompok, hanya fokus kebijakan jangka pendek demi menyelamatkan kepentingan (ekonomi) kelompok tertentu.</p> <p>Juga pengabaian terhadap ilmu yang jelas mangkus alih-alih berdelusi dengan mitos bohong atau omongan tak berdasarkan data empiris, dan termasuk tak ada permohonan maaf atas ucapan ngawur bahkan bohong dari elite penguasa politik budaya.</p> <p>Yang perlu diperhatikan, kemajuan ilmu pengetahuan seperti sains kedokteran di zaman kita belum tentu dijadikan basis kebijakan publik.</p> <p>Orang Easter Island bukan tidak paham bahaya penebangan pohon hutan yang telah melindungi kehidupannya. Mereka sangat sadar dan paham tapi tak bisa berbuat banyak. Kekonyolan adu kepentingan dan kebijakan jangka pendek justru yang sering menjadi kendala utama bahkan jadi penguat krisis kesehatan atau ekologi.</p> <p>Yang di atas sibuk menghimbau, membuat kebijakan hanya untuk menyelamatkan diri sendiri, tak berani membuat kebijakan mangkus yang tegas adil; sedangkan yang di bawah tak bisa berbuat banyak atas nama desakan kebutuhan <em>real</em> sehari-hari.</p> <p>Sayup-sayup, mungkin sebagian dari kita mendengar arwah orang-orang Easter Island yang akhirnya hancur secara kolektif. Semoga apa yang dialami oleh orang-orang Easter Island tidak melanda warga dunia.</p> <p> </p> <p>* <strong>M. Fauzi Sukri,</strong> <em>penulis buku Guru dan Berguru (2015), </em><em>Pembaca Serakah (2018), dan Bahasa Ruang, Ruang Puitik (2018), peminat </em><em>filsafat pendidikan, ekonomi politik, dan filsafat agama. Artikel ini adalah opini penulis.</em></p> <p> </p> <p style="text-align: center;">***</p> <p style="text-align: center;">Foto utama: Sejumlah siswa menggunakan masker karena asap kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) di Meskom, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau. Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia</p> <p> </p> <p> </p> <p>Itulah tadi informasi dari <a href="https://www.pokerwaw.cc/">judi online</a> mengenai <b>Krisis Kesehatan, Pengetahuan Ekologis, dan Kebijakan Publik oleh - seputarplanetid.xyz<b> dan sekianlah artikel dari kami <a href="https://seputarplanetid.xyz">seputarplanetid.xyz</a>, sampai jumpa di postingan berikutnya. selamat membaca. </p>

Krisis Kesehatan, Pengetahuan Ekologis, dan Kebijakan Publik oleh - seputarplanetid.xyz

Halo sahabat selamat datang di website seputarplanetid.xyz , pada kesempatan hari ini kita akan membahas seputar Krisis Kesehatan, Pengetahu...

Read more »

Konsep Lestarikan Alam dalam Adat Kampung Kuta oleh - seputarplanetid.xyz

<p>Halo sahabat selamat datang di website <a href="https://seputarplanetid.xyz">seputarplanetid.xyz</a>, pada kesempatan hari ini kita akan membahas seputar <b>Konsep Lestarikan Alam dalam Adat Kampung Kuta oleh - seputarplanetid.xyz</b>, kami sudah mempersiapkan artikel tersebut dengan informatif dan akurat, silahkan membaca</p><p> </p> <ul> <li><em>Menjaga keharmonisan menjadi kunci penting bagi dunia yang tengah mencari keseimbangan lingkungan.</em></li> <li><em>Berada di Kabupaten Cimahi di ujung timur Jawa Barat, Kampung Adat Kuta berhasil menjaga hutan mereka hingga dianugerahi Kalpataru tahun 2002. </em></li> <li><em>Ketaatan terhadap budaya Sunda yang di jaga sejak zaman Kerajaan Galuh, berhasil membuat warga Kuta berdaulat secara ekonomi, sosial dan budaya bahkan pangan.</em></li> <li><em>Dalam aturan hukum adat Kampung Kuta, warga diantaranya tidak diperbolehkan untuk menebang pohon aren, mengambil air tanah, dan merusak alam.</em></li> </ul> <p> </p> <p>Maman Sajo (55), Kuncen Kampung Adat Kuta, baru saja menaruh sekarung kopi robusta di rumahnya. Mimiknya sumringah. Panen kopi kali ini nyaris sama dengan panen lima tahun lalu. Jika dihitung, panen kopi dari lima ribu pohon diprediksi mencapai 2 ton.</p> <p>Kehadiran kopi di Kampung Kuta perlahan menambah kesejahteraan warga. Kata Maman, kopi tidak sekadar enak diminum dan bernilai ekonomis yang menjanjikan. Hal terpenting, menanam kopi tidak melanggar aturan adat.</p> <p>“Bukan soal ekonomi semata. Tujuannya agar wawasan pertanian kami terus berkembang,” ucapnya.</p> <p>Sebetulnya, kopi barulah ditanam warga delapan tahun lalu. Semula mereka memilih kopi untuk dijadikan selingan saja, jika panen dari komoditas pertanian mereka sedang anjlok. Baginya dan warga Kuta kebanyakan, menanam kopi bukan hanya ikut tren komoditas unggulan pertanian saat ini.</p> <p> </p> <figure id="attachment_80348" class="wp-caption alignnone"><a href="https://www.mongabay.co.id/wp-content/uploads/2020/07/Kampung-Kuta-6-scaled.jpg"><img alt="" class="wp-image-80348 size-large" height="800" sizes="(max-width: 1200px) 100vw, 1200px" src="https://www.mongabay.co.id/wp-content/uploads/2020/07/Kampung-Kuta-6-1200x800.jpg" srcset="https://www.mongabay.co.id/wp-content/uploads/2020/07/Kampung-Kuta-6-1200x800.jpg 1200w, https://www.mongabay.co.id/wp-content/uploads/2020/07/Kampung-Kuta-6-768x512.jpg 768w, https://www.mongabay.co.id/wp-content/uploads/2020/07/Kampung-Kuta-6-1536x1024.jpg 1536w, https://www.mongabay.co.id/wp-content/uploads/2020/07/Kampung-Kuta-6-2048x1365.jpg 2048w" width="1200" /></a><figcaption class="wp-caption-text">Maman, Kuncen Adat Kampung, di dalam kawasan hutan karamat (keramat) di Kampung Adat Kuta, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia</figcaption></figure> <p> </p> <p><strong>Adat di Kampung Kuta</strong></p> <p>Kampung Kuta berada di Desa Karangpaningal, Kecamatan Tambaksari, Kabupaten Ciamis yang berjarak sekitar 40 kilometer dari pusat kota Ciamis. Penamaan kampung ini sesuai letaknya yang berada di lembah dan dikelilingi tebing setinggi sekitar 75 meter. Dalam bahasa Sunda, <em>kuta </em>berarti tebing.</p> <p>Di Kuta, pertanian menjadi mata pencaharian utama. Masa bertanam harus disesuaikan dengan perhitungan <em>kalamangsa</em> yakni di bulan keenam atau kelipatannya. Terlarang (<em>pamali</em>) jika tidak dituruti.</p> <p>Bicara adat, banyak hal yang diatur olehnya. Apalagi yang menyangkut soal pengelolaan lingkungan dan tanaman yang menyangkut hajat hidup warga Kampung Kuta.</p> <p>Seperti halnya pemilihan mata pencaharian utama warganya yakni aren. Bagi warga Kuta, nira aren (<em>Arenga pinnata</em>) alih-alih gula kelapa apalagi tebu, dipilih sebagai pemanis. Sejak ratusan tahun lalu, leluhur mereka sudah tahu jika kandungan lemak gula aren jauh lebih rendah ketimbang gula kelapa.</p> <p>“<em>Kolot baheula</em> (orang tua dulu) menganjurkan mengkonsumsi aren, ternyata baru tahu alasannya setelah banyak peneliti yang bilang aren itu sehat,” ujar Maman sembari memasukkan potongan gula aren ke dalam cangkir kopinya.</p> <p> </p> <p><strong>Aren, Tanaman Penting Kehidupan</strong></p> <p>Tak seperti umumya di daerah lain, pembuatan gula di Kampung Kuta memanfaatkan nira aren, bukan kelapa. Lebih dari seribu batang aren menjadi mata pencarian bagi warga Kampung Kuta.</p> <p>Maman mengatakan hal itu berkaitan dengan larangan menyadap kelapa bagi warga Kuta. Selain padi, kelapa adalah perlambang dewi kesuburan, Sri Pohaci.</p> <p>Keberadaan aren dilindungi ketat. Setiap penanamannya diawali upacara adat. Adat juga menghukum berat orang yang menebang pohon aren.</p> <p>Tanaman aren sendiri memiliki keragaman fungsi sosial, ekonomi, dan budaya. Misalnya, untuk berbagai upacara adat, obat-obatan, maupun kebutuhan untuk bangunan rumah. Adapun cara mengolah nira diwariskan lintas generasi.</p> <p>Surya (55) contohnya. Ia membawa dua <em>lodong</em> (wadah) bambu yang digendong di punggung. Dia baru saja mengambil air nira dari enam pohon aren yang berjarak sekitar 100 meter dari rumahnya.</p> <p>Biasanya tiap keluarga memiliki pohon aren sendiri. Untuk itu, mereka akan menjaga penyebarluasan dan pembudidayaan pohon ini. Secara alami, bibit aren disebarkan oleh musang.</p> <p>“Cukuplah untuk dibikin <em>sagandu</em> (1-2 kilogram gula aren),” sahutnya.</p> <p>Surya bergegas pulang setelah selesai memasang <em>lodong</em> pengganti untuk diambil keesokan harinya. Dua <em>lodong-</em>nya telah penuh terisi sepuluh liter nira.</p> <p>Aren juga dianggap cocok ditanam di wilayah Kuta. Ia mampu menahan erosi tanah. Akarnya memiliki kemampuan mengikat air. Hasilnya, Kampung Kuta tak pernah mengalami longsor.</p> <p>Dari luas wilayah Kampung Kuta yaitu 97 hektar, enam puluh persennya kawasan hijau. Secara adat ia terbagi menjadi lahan <em>ancepan </em>(patilasan), hutan <em>karamat</em> (keramat), sawah, perkebunan dan pemukiman.</p> <p> </p> <figure id="attachment_80349" class="wp-caption alignnone"><a href="https://www.mongabay.co.id/wp-content/uploads/2020/07/Kampung-Kuta-12-scaled.jpg"><img alt="" class="wp-image-80349 size-large" height="800" sizes="(max-width: 1200px) 100vw, 1200px" src="https://www.mongabay.co.id/wp-content/uploads/2020/07/Kampung-Kuta-12-1200x800.jpg" srcset="https://www.mongabay.co.id/wp-content/uploads/2020/07/Kampung-Kuta-12-1200x800.jpg 1200w, https://www.mongabay.co.id/wp-content/uploads/2020/07/Kampung-Kuta-12-768x512.jpg 768w, https://www.mongabay.co.id/wp-content/uploads/2020/07/Kampung-Kuta-12-1536x1024.jpg 1536w, https://www.mongabay.co.id/wp-content/uploads/2020/07/Kampung-Kuta-12-2048x1365.jpg 2048w" width="1200" /></a><figcaption class="wp-caption-text">Daun aren digunakan warga untuk menganyam atap rumah. Di Kampung Kuta, warga dilarang membangun rumah dari tembok. Hasil penelitian rumah kayu lebih tahan gempa daripada rumah tembok. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia.</figcaption></figure> <p> </p> <p><strong>Pantangan dan Sejarah Kampung  </strong></p> <p>Tidak hanya konsumsi makanan, gaya hidup sehat terlihat dari penataan permukimannya. Larangan menguburkan jenazah dekat dengan permukiman menjadi contoh.</p> <p>Sesepuh Adat Kuta Ki Warja, bercerita jika pendiri Kampung Kuta, Ki Bumi, meletakkan konsep adat ratusan tahun lalu. Sebelum meninggal dia berwasiat minta dimakamkan di luar areal permukiman masyarakat. Hingga saat ini, jenazah warga Kuta dimakamkan di wilayah Cibodas, 600 meter sebelah utara Kampung Kuta.</p> <p>Warga Kuta percaya bahwa tanah di wilayah Kuta suci. Nekat menggali tanah sama saja mengundang malapetaka. Termasuk jika menggali tanah untuk lahan pekuburan.</p> <p>Mengkaji dari penjelasan ilmiah, hal ini masuk akal, karena menggali di lahan kampung yang berlereng, akan menyebabkan bahaya longsor.</p> <p>Keteladanan lain yaitu letak jamban untuk mandi, cuci dan  kakus terpisah dari rumah dan mata air. Tak jarang, jamban ditempatkan di kolam ikan jauh di pinggir permukiman, dibuat dari bilik bambu dan dialiri air pancuran. Kakus dibuat untuk semua, atau bersifat umum.</p> <p>“Di sini <em>pamali </em>mengambil air tanah,” ucap Ki Warja menjelaskan. Warga Kuta hanya memanfaatkan air yang mengalir di permukaan.</p> <p>Di Kuta, air tak pernah kritis. Kebutuhan air bersih untuk keperluan sehari-hari selalu tercukupi dengan empat mata air, yaitu Ciasihan, Panyipuhan, Cinangka, dan Cibangbara yang tak pernah kering meski kemarau.</p> <p>Saat ditanya perihal sejarah kampung, Ki Wajar menuturkan asal-usul Kuta lewat dongeng.</p> <p>Berawal dari titah Penguasa Kerajaan Cirebon ratusan tahun lalu, Aki Bumi, â€" pendiri Kampung Kuta, berkelana ke daerah yang dahulu urung dijadikan ibu kota Kerajaan Galuh di tepi Sungai Cijolang.</p> <p>Dia ditugaskan untuk menjaga sekaligus melakukan survey lokasi yang layak untuk pembuatan permukiman. Setidaknya dia memetakan ada 14 tempat tersebar di tebing yang mengelilingi Kuta, yaitu dari lokasi mata air, hingga calon lokasi penyimpanan perhiasan dan senjata.</p> <p>Peninggalan tersebut, sekarang konon terletak di dalam hutan keramat. Misalnya, Pande Domas yaitu tempat pembuatan senjata, Gunung Barang tempat menyimpan barang. Ada pula nama Gunung Apu dan Gunung Semen untuk bahan baku membikin kerajaan.</p> <p>Masyarakat Kampung Kuta percaya bahwa peninggalan itu disimpan di hutan <em>karamat,</em> yang dijaga oleh mahluk gaib bernama Ambu Rama Bima Raksa Kalijaga, Prabu Mangkurat Jaga, Sang Mentil Putih, dan Kyai Bima Raksa Nagara.</p> <p>Keberadaan Leuweung Gede merupakan representasi dari ruang terbuka hijau di Kampung Kuta. Hutan seluas 32,8 hektar ini <em>pamali</em> untuk didatangi, kecuali pada Senin dan Jumat.</p> <p>“Kalau tidak diatur sedemikian rupa mungkin sudah <em>ruksak,</em>” tegas Ki Warja.</p> <p>Di setiap pekarangan atau halaman belakang rumah pun kita dapat jumpai beragam jenis tanaman obat. Mulai dari kaca piring, sirih, cikur, ki bangkong, dan salihara untuk mengobati muntaber, luka, batuk, dan sakit kepala.</p> <p>“Sebelum pergi ke dokter, kami manfaatkan dulu tanaman obat yang ada,” kata Susi (33) seorang warga. Tindakan medis sebutnya menjadi opsi terakhir.</p> <p> </p> <figure id="attachment_80350" class="wp-caption alignnone"><a href="https://www.mongabay.co.id/wp-content/uploads/2020/07/Kampung-Kuta-17-scaled.jpg"><img alt="" class="wp-image-80350 size-large" height="800" sizes="(max-width: 1200px) 100vw, 1200px" src="https://www.mongabay.co.id/wp-content/uploads/2020/07/Kampung-Kuta-17-1200x800.jpg" srcset="https://www.mongabay.co.id/wp-content/uploads/2020/07/Kampung-Kuta-17-1200x800.jpg 1200w, https://www.mongabay.co.id/wp-content/uploads/2020/07/Kampung-Kuta-17-768x512.jpg 768w, https://www.mongabay.co.id/wp-content/uploads/2020/07/Kampung-Kuta-17-1536x1024.jpg 1536w, https://www.mongabay.co.id/wp-content/uploads/2020/07/Kampung-Kuta-17-2048x1365.jpg 2048w" width="1200" /></a><figcaption class="wp-caption-text">Surya (55) memasak nira di dapur rumahnya. Nira yang kemudian diolah menjadi gula merah adalah mata pencarian utama warga Kampung Kuta. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia</figcaption></figure> <p> </p> <p>***</p> <p>Suasana sepanjang hari di Kampung Kuta nyaris sepi. Tidak ada gelak tawa anak kecil yang biasa terdengar di kampung-kampung pada umumnya. Hanya ada 227 orang  yang tinggal di permukiman Kampung Kuta.</p> <p>Dari 127 rumah, diisi mayoritas orang tua. Setiap rumah tangga paling banyak punya 1-2 anak. Sebagai contoh, Susi hanya punya satu anak.</p> <p>Ki Warja bilang, ketika pemerintah menyosialisasikan program keluarga berencana, warga Kampung Kuta menerima dengan senang hati sebab selaras dengan aturan adat.</p> <p>“Anak kan rezeki dari Allah. Jika belum siap lahir batin, kelahiran anak lebih baik ditunda dulu demi kebaikan masa depan,” imbuhnya.</p> <p>Warga Kuta seolah mafhum. Butuh perencanaan matang sebelum berpikir menikah apalagi punya anak.</p> <p> </p> <figure id="attachment_80351" class="wp-caption alignnone"><a href="https://www.mongabay.co.id/wp-content/uploads/2020/07/Kampung-Kuta-15-scaled.jpg"><img alt="" class="wp-image-80351 size-large" height="800" sizes="(max-width: 1200px) 100vw, 1200px" src="https://www.mongabay.co.id/wp-content/uploads/2020/07/Kampung-Kuta-15-1200x800.jpg" srcset="https://www.mongabay.co.id/wp-content/uploads/2020/07/Kampung-Kuta-15-1200x800.jpg 1200w, https://www.mongabay.co.id/wp-content/uploads/2020/07/Kampung-Kuta-15-768x512.jpg 768w, https://www.mongabay.co.id/wp-content/uploads/2020/07/Kampung-Kuta-15-1536x1024.jpg 1536w, https://www.mongabay.co.id/wp-content/uploads/2020/07/Kampung-Kuta-15-2048x1365.jpg 2048w" width="1200" /></a><figcaption class="wp-caption-text">Warga saat memanjat pohon aren. Nira aren diolah menjadi gula. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia</figcaption></figure> <p> </p> <p>Pertimbangan mengontrol jumlah kelahiran di Kampung Kuta, di mata dosen Geografi Universitas Pendidikan Indonesia, Enok Maryani, adalah pengetahuan yang ciamik. Menurutnya, adat Kuta seperti mengetahui ancaman, jika terjadi lonjakan jumlah penduduk.</p> <p>“Mungkin mereka punya kekhawatiran karena mereka menghabiskan waktu bekerja di ladang dan sawah. Sehingga nantinya ditakutkan anak tidak mendapatkan perhatian dan kebutuhan ekonomi yang cukup,” sebutnya.</p> <p>Demikian pula, sumber daya alam yang terbatas, akan cepat terkuras, jika diisi terlalu banyak penduduk. Pemahaman itu luar biasa karena bisa memperhitungkan daya dukung, kata Enok.</p> <p>Bukan tidak mungkin, kepadatan penduduk bisa menggerus banyaknya tempat keramat yang dijaga adat ratusan tahun lalu. Apalagi, bencana alam bisa saja datang sewaktu-waktu bila hutan dan tebing tanah dijadikan tempat tinggal.</p> <p> </p> <p>***</p> <p>Beranjak siang, Maman kedatangan tamu. Mereka adalah penziarah asal Ciamis yang hendak ke <em>Leuweung Gede</em>. Sebelum masuk, ia melepas sandal jepitnya. Di beranda tampak hutan rimbun ramai celotehan burung. Tak hanya alas kaki, Maman meminta, perhiasan di tubuh pun dilepas.</p> <p>Berjalan sekitar 300 meter, para penziarah mengekor melintasi jalan setapak menembus ribuan pohon besar. Di sini pohon yang sudah jarang dijumpai seperti Kitamiang atau pushu (<em>Celtis sinensis</em>) menjulang tinggi lebih dari 20 meter. Penziarah itu sempat dikagetkan oleh sekelompok lutung jawa yang bergelantungan di antara kanopi hutan.</p> <p>Hingga akhirnya mereka berhenti di mata air di tengah hutan yang hanya boleh dikunjungi Senin dan Jumat. Mata air itu dikelilingi pohon besar.</p> <p>“Silahkan basuh wajah,” ujar Maman mengawali.</p> <p>Berkaitan dengan tata ruang, keberadaan <em>Leuweung Gede</em> atau hutan keramat memang terus dijaga kelestariannya. Bagi warga Kuta, hutan itu dianggap jantung kehidupan mereka.</p> <p> </p> <figure id="attachment_80352" class="wp-caption alignnone"><a href="https://www.mongabay.co.id/wp-content/uploads/2020/07/Kampung-Kuta-4-scaled.jpg"><img alt="" class="wp-image-80352 size-large" height="800" sizes="(max-width: 1200px) 100vw, 1200px" src="https://www.mongabay.co.id/wp-content/uploads/2020/07/Kampung-Kuta-4-1200x800.jpg" srcset="https://www.mongabay.co.id/wp-content/uploads/2020/07/Kampung-Kuta-4-1200x800.jpg 1200w, https://www.mongabay.co.id/wp-content/uploads/2020/07/Kampung-Kuta-4-768x512.jpg 768w, https://www.mongabay.co.id/wp-content/uploads/2020/07/Kampung-Kuta-4-1536x1024.jpg 1536w, https://www.mongabay.co.id/wp-content/uploads/2020/07/Kampung-Kuta-4-2048x1365.jpg 2048w" width="1200" /></a><figcaption class="wp-caption-text">Suasana dalam hutan adat. Bagi warga Kuta, hutan keramat seluas 32 hektar adalah jantung kehidupan yang dijaga dengan pamali atau larangan. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia</figcaption></figure> <p> </p> <p>Kearifan Kampung Kuta seolah menyelami hakikat dari sebuah ilmu. Filosofi kesederhanaan hidup mereka sudah mengajarkan bahwa lingkungan sudah sangat jelas bagaimana cara memanfaatkannya.</p> <p><em>Pamali</em> mengajarkan setia menjaga titah leluhur dalam pola kehidupan mereka. Sejak ratusan tahun lalu, pesan itu bertitah bahwa alam tidak ubahnya tubuh manusia yang harus selalu dijaga kesehatan dan keharmonisannya.</p> <p>Menjaga keharmonisan menjadi kunci penting bagi dunia yang tengah mencari keseimbangan lingkungan. Tak heran jika Kampung Kua pernah dianugerahi Penghargaan Kalpataru oleh Pemerintah pada tahun 2002.</p> <p> </p> <p> </p> <p>Itulah tadi informasi dari <a href="https://www.cr7bet.poker/">agen idn poker</a> mengenai <b>Konsep Lestarikan Alam dalam Adat Kampung Kuta oleh - seputarplanetid.xyz<b> dan sekianlah artikel dari kami <a href="https://seputarplanetid.xyz">seputarplanetid.xyz</a>, sampai jumpa di postingan berikutnya. selamat membaca. </p>

Konsep Lestarikan Alam dalam Adat Kampung Kuta oleh - seputarplanetid.xyz

Halo sahabat selamat datang di website seputarplanetid.xyz , pada kesempatan hari ini kita akan membahas seputar Konsep Lestarikan Alam dala...

Read more »

Kasus Sitorus, Cermin Karut Marut Tata Kelola Lahan Sawit di Riau oleh - seputarplanetid.xyz

<p>Halo sahabat selamat datang di website <a href="https://seputarplanetid.xyz">seputarplanetid.xyz</a>, pada kesempatan hari ini kita akan membahas seputar <b>Kasus Sitorus, Cermin Karut Marut Tata Kelola Lahan Sawit di Riau oleh - seputarplanetid.xyz</b>, kami sudah mempersiapkan artikel tersebut dengan informatif dan akurat, silahkan membaca</p><p> </p> <p> </p> <ul> <li><em> </em><em>Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tembilahan, memutus bebas Soaduon Sitorus atas kasus pencurian buah sawit dari lahan yang diklaim milik Gindo Naibaho di Dusun Semaram, Indragiri Hilir, Riau. Amar putusan menyebut, kalau tuntutan kepada Soaduon tidak masuk pidana lantaran ada perebutan kebun sawit dua kelompok.</em></li> <li> <em>Tak hanya konflik lahan antar warga, sawit dalam wilayah terlarang seperti kawasan hutan termasuk di taman nasional dan gambut pun ada di Riau. Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) menyebut, lebih 22 perusahaan sawit membeli tandan buah segar (TBS) bukan hanya dari perkebunan milik mereka, juga di kawasan terlarang, seperti di taman nasional.</em></li> <li> <em>Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) menyebut, lebih 22 perusahaan sawit membeli tandan buah segar (TBS) bukan hanya dari perkebunan milik mereka, juga di kawasan terlarang, seperti di taman nasional. Praktik seperti itu lantas tak langsung menginspirasi para cukong dan pemodal untuk ekspansi di wilayah-wilayah itu.</em></li> <li> <em>Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, mengatakan, masalah legalitas lahan, seperti yang ujung konflik antar Sitorus dan Neibaho jadi masalah dasar yang mendesak diselesaikan guna mengurai kesemrawutan tata kelola perkebunan sawit di Riau.</em></li> </ul> <p> </p> <p> </p> <p>Pada 16 Juni lalu, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tembilahan, memutus bebas Soaduon  <span style="color: #339966;"><a style="color: #339966;" href="https://www.mongabay.co.id/wp-content/uploads/2020/06/Sitorus.docx">Sitorus</a> </span> atas kasus pencurian buah sawit dari lahan yang diklaim milik Gindo Naibaho di Dusun Semaram, Indragiri Hilir, Riau. Amar putusan menyebut, kalau tuntutan kepada Soaduon tidak masuk pidana lantaran ada perebutan kebun sawit dua kelompok.</p> <p>Dalam amar putusan, hakim menilai ada saling klaim dan saling memiliki atas obyek itu membuat perbuatan Sitorus bukan lagi dalam ranah hukum pidana.</p> <p>“Karena tidak ada pidana, dia harus dilepaskan demi hukum,” kata M Rais Hasan, kuasa hukum Sitorus saat dihubungi <em>Mongabay</em>, Kamis pekan ini.</p> <p><strong>Baca juga: <span style="color: #339966;"><a style="color: #339966;" href="https://www.mongabay.co.id/2020/06/15/panen-sawit-di-lahan-sengketa-soaduon-sitorus-terjerat-pasal-pencurian/">Panen Sawit di Lahan Sengketa, Soaduon Sitorus Terjerat Pasal Pencurian</a></span></strong></p> <p>Kedua pihak, katanya, sama-sama memiliki legalitas. Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam persidangan memperlihatkan bukti berupa surat keterangan ganti rugi (SKGR). Sitorus pun memiliki dokumen yang jadi alat bukti kepemilikan lahan oleh keluarga Tarigan, keluarga yang memberi lahan sawit kepada Sitorus.</p> <p>Fakta-fakta terungkap dari saksi JPU maupun saksi yang menguatkan Sitorus menyebutkan, Naibaho memiliki lahan 1.314 hektar. Ketika dikonfirmasi letak lahan, saksi-saksi pelapor justru tak bisa menunjukkan dengan pasti.</p> <p>“Letak dan posisi lahan Naibaho itu tidak jelas. Itu kami ajukan jadi bukti di pengadilan,” kata Rais.</p> <p> </p> <p><strong>Karut marut tata kelola </strong></p> <p>Ketidakjelasan status dan saling klaim kepemilihan dalam kasus Sitorus dan Naibaho, memperlihatkan satu contoh karut marut tata kelola lahan sawit di Riau. Belum lagi soal perkebunan sawit hidup di lahan ilegal seperti taman nasional dan gambut.</p> <p>Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) menyebut, lebih 22 perusahaan sawit membeli tandan buah segar (TBS) bukan hanya dari perkebunan milik mereka, juga di kawasan terlarang, seperti di taman nasional.</p> <p>Praktik seperti itu lantas tak langsung menginspirasi para cukong dan pemodal untuk ekspansi di wilayah-wilayah itu. “Kalau tidak ada yang beli, tentu orang tidak akan masuk (dalam kawasan),” kata Okto Yugo Setyo, Wakil Koordinator Jikalahari dihubungi secara terpisah.</p> <p>Aparatur negara pun seakan tidak memiliki taring atas praktik ini. kKgaduhan di tingkat tapak, katanya, membuat segala upaya mengubah jadi percuma.</p> <p>Pada 2016-2017, saat Kapolda Riau mengeluarkan Surat Edaran untuk perusahaan sawit tidak zembeli sawit dari Taman Nasional Tesso Nilo.</p> <p>“Ini dipakai oleh perusahaan untuk provokasi di tapak. ‘Ini, <em>loh</em>, kami tidak boleh membeli sawit kalian karena surat edaran.’ Selanjutnya kegaduhan terjadi,” kata Okto.</p> <p>Akibat provokasi berujung kegaduhan itu, akhirnya surat edaran ini tidak lagi berlaku.</p> <p>Selain perkebunan sawit dalam taman nasional dan gambut, Riau pun jadi tuan rumah ramah atas kebun sawit izin berantakan.</p> <p> </p> <figure id="attachment_59690" class="wp-caption alignnone"><img alt="" class="size-full wp-image-59690" height="853" sizes="(max-width: 1280px) 100vw, 1280px" src="https://www.mongabay.co.id/wp-content/uploads/2018/01/toro12-Hutan-TNTN-Berubah-Menjadi-Perkebunan-Sawit-6.jpg" srcset="https://www.mongabay.co.id/wp-content/uploads/2018/01/toro12-Hutan-TNTN-Berubah-Menjadi-Perkebunan-Sawit-6.jpg 1280w, https://www.mongabay.co.id/wp-content/uploads/2018/01/toro12-Hutan-TNTN-Berubah-Menjadi-Perkebunan-Sawit-6-768x512.jpg 768w, https://www.mongabay.co.id/wp-content/uploads/2018/01/toro12-Hutan-TNTN-Berubah-Menjadi-Perkebunan-Sawit-6-1200x800.jpg 1200w, https://www.mongabay.co.id/wp-content/uploads/2018/01/toro12-Hutan-TNTN-Berubah-Menjadi-Perkebunan-Sawit-6-100x67.jpg 100w" width="1280" /><figcaption class="wp-caption-text">Menandang hutan alam di Taman Nasional tesso Nilo, yang terbabat dan berubah menjadi kebun sawit, Minggu (12/11/17). Foto: Rony Muharrman/ Mongabay Indonesia</figcaption></figure> <p> </p> <p>Tahun 2015, DPRD Riau melalui panitia khusus yang dibentuk menemukan 1,8 juta hektar lahan perkebunan beroperasi ilegal. Dalam arti, katanya, belum memiliki hak guna usaha (HGU) namun sudah beroperasi, bekerja melebihi HGU sampai operasi dalam kawasan hutan.</p> <p>“Sayangnya, itu belum dikoreksi betul dalam RTRW Riau,” kata Okto.</p> <p>RTRW Okto digugat pada 2018 dan Mahkamah Agung mengabulkan hingga bisa jadi momen perbaikan.</p> <p>Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, mengatakan, masalah legalitas lahan, seperti yang ujung konflik antar Sitorus dan Neibaho jadi masalah dasar yang mendesak diselesaikan guna mengurai kesemrawutan tata kelola perkebunan sawit di Riau.</p> <p>Dengan legalitas jelas, masyarakat bukan hanya memiliki kedudukan kuat kalau sedang berkonflik dengan pihak lain termasuk perusahaan, juga bisa mengakses modal dan pasar.</p> <p>“Kita tahu kalau legalitas bagi masyarakat ini sulit. Persyaratan <em>macem-macem, </em>tidak mungkin terpenuhi, apalagi kalau masalah tanah adat,” kata Teguh.</p> <p>Data pemerintah memperlihatkan Riau memiliki kebun sawit terluas di Indonesia, hampir 3,4 juta hektar. Meskipun begitu, jadi ‘pusat’ kebun sawit tak selaras dengan kesejahteraan warganya.</p> <p><strong>Baca juga: <span style="color: #339966;"><a style="color: #339966;" href="https://www.mongabay.co.id/2020/05/20/kebun-sawit-riau-terluas-tak-jamin-rakyat-sejahtera-dan-berdaulat-pangan/">Kebun Sawit Riau Terluas, Tak Jamin Rakyat Sejahtera dan Berdaulat Pangan</a></span></strong></p> <p>Data Yayasan Madani Berkelanjutan dari Statistik Kesejahteraan Masyarakat Riau 2018, enam dari tujuh kabupaten dengan luas perkebunan sawit terbesar di Riau, yaitu, Indragiri Hulu, Bengkalis, Pelalawan, Rokan Hulu, Kampar dan Rokan Hilir, ternyata memiliki kesejahteraan rendah.</p> <p>Kabupaten-kabupaten itu 65% komoditas perkebunan adalah sawit dan lebih 70% pertanian di sana lahan sawit. Kalau melihat dari daya beli masyarakat, 50% pengeluaran justru untuk makanan.</p> <p>“Ada rawan pangan dan rawan bencana di kabupaten dengan perkebunan sawit terluas di Riau. Ini terjadi dari tahun ke tahun. <em>Nggak </em>ada koreksi, padahal di dalam rencana pembangunan daerah dijabarkan masalah ini,” katanya.</p> <p> </p> <p><strong>Banyak terjadi di Indonesia</strong></p> <p>Herry Purnomo, peneliti Center for International Forestry Research (Cifor) dalam kesempatan berbeda menyebut, apa yang terjadi di Riau merupakan gambaran umum Indonesia. Tidak hanya masalah perkebunan sawit, pengelolaan kehutanan pun demikian.</p> <p>“Yang jadi persoalan adalah kemampuan kita untuk memperbaiki lebih kecil daripada masalahnya yang besar,” katanya.</p> <p>Saat ini, katanya, ada 3,5 juta hektar perkebunan sawit dalam kawasan hutan di seluruh Indonesia. Penyelesaian luasan ini sangat kompleks, intervensi pemerintah dalam bentuk perhutanan sosial pun masih belum sepenuhnya bisa jadi jawaban atas masalah ini.</p> <p>“Kalau mau dikasih ke masyarakat, masyarakat yang mana? Siapa yang kelola? Kadang yang memiliki kemampuan justru cukong, bukan masyarakat miskin yang memang membutuhkan,” katanya.</p> <p>Menurut dia, masalah kehutanan, termasuk sawit, di Indonesia adalah masalah yang kompleks. Banyaknya aktor yang bermain membuatnya sulit untuk diurai, apalagi dengan keterbatasan pendanaan yang dimiliki pemerintah pusat dan daerah untuk pengelolaan kawasan hutan.</p> <p>Di Riau, lanjut Herry, pengelolaan kawasan hutan sebesar 9 juta hektar hanya diberikan anggaran Rp15 miliar. Kondisi ini jelas tidak cukup, dengan rincian hanya ada alokasi Rp2.000 untuk pengelolaan satu hektar. “Dua ribu rupiah untuk apa? Kasarnya paling untuk Pak Ogah, <em>kan?</em></p> <iframe src="https://www.youtube.com/embed/uB5JZOeYOH4" width="766" height="445" frameborder="0" allowfullscreen="allowfullscreen"><span data-mce-type="bookmark" style="display: inline-block; width: 0px; overflow: hidden; line-height: 0;" class="mce_SELRES_start"></span></iframe> <p> </p> <p> </p> <p><strong>Perlu kepemimpinan</strong></p> <p>Masalah kompleks kehutanan dan perkebunan sawit di Riau itu, kata Teguh, berasal dari pemimpin minim yang memiliki visi memajukan Riau. Beberapa pemimpin daerah baik di provinsi atau kabupaten bahkan beberapa kali berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi.</p> <p>“Tidak ada <em>leadership </em>di Riau yang visi membangun Riau. Dari sejarah ekstraksi sumber daya di Riau, itu dibongkar habis, tapi apakah sejahtera? Berganti komoditas hingga sekarang sawit, situasi pun tetap sama,” kata Teguh.</p> <p>Tidak ada kepemimpinan kuat pun jadi salah satu alasan implementasi regulasi-regulasi pusat di daerah lemah. Teguh menyoroti implementasi Inpres Moratorium Izin di kawasan hutan sejak 2011.</p> <p>“Ada mandat agar daerah me-<em>review </em>tata ruang dan menyesuaikan dengan peta indikatif (penundaan pemberian izin baru-red), tapi apa itu dilakukan? Tidak. Kementerian Dalam Negeri pun tidak bersuara dan tata ruang tetap diproses.”</p> <p>Dia menilai, perlu perubahan radikal oleh pemimpin-pemimpin daerah untuk berani membela kepentingan masyarakat dan lingkungan seperti diamanatkan Undang-undang Dasar 1945, Pasal 28A. Ia berbunyi, ‘Setiap orang berhak hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.’</p> <p>“<em>Leadership </em>ini harus dari atas, karena kalau dari bawah, dari masyarakat yang melakukan perubahan, nanti diberi stigma pemberontak.”</p> <p> </p> <p><strong>Kerjakan porsi masing-masing</strong></p> <p>Pemerintah, harus menjadi pemimpin terhadap perbaikan tata kelola di kawasan hutan dan perkebunan. Meskipun demikian, kata Herry, masyarakat, organisasi masyarakat sipil maupun akademisi tidak perlu menunggu sosok dirigen yang tepat.</p> <p>“Pemerintah, memang harus menjadi koordinator, harus jadi fasilitator, tapi kita pun masing-masing harus kerjakan yang terbaik. Karena kalau tunggu pemerintah restorasi atau perbaiki tiap jengkal tidak akan mampu.”</p> <p>Dia menilai keterbatasan pemerintah juga harus ditopang oleh organisasi masyarakat sipil yang memiliki sumber daya ataupun dana mumpuni. Cifor, misal, juga mengerjakan apa yang mereka bisa di lapangan, terutama restorasi kawasan dan perbaikan lingkungan masyarakat.</p> <p>“Kami kerjakan di salah satu desa, dari situ kita <em>connect </em>ke desa lain, pasti ada sambutan. Inisiatif dari bawah dengan pemerintah pasti akan menghasilkan sesuatu yang baik,” kata Herry.</p> <p>Dia menganalogikan, setiap pekerjaan yang dilakukan organisasi masyarakat sipil atau pemerintah secara parsial sebagai narasi kecil. “Nanti, narasi-narasi kecil ini bisa kita rajut, harapannya menghasilkan narasi besar.”</p> <p> </p> <p>Keterangan foto utama:  Ilustrasi. Riau, provinsi dengan kebun sawit terluas di Indonesia, tetapi tak sejalan dengan kesejahateraan warganya. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia</p> <p> </p> <p>Itulah tadi informasi dari <a href="https://www.lapopoker.com/">daftar poker online</a> mengenai <b>Kasus Sitorus, Cermin Karut Marut Tata Kelola Lahan Sawit di Riau oleh - seputarplanetid.xyz<b> dan sekianlah artikel dari kami <a href="https://seputarplanetid.xyz">seputarplanetid.xyz</a>, sampai jumpa di postingan berikutnya. selamat membaca. </p>

Kasus Sitorus, Cermin Karut Marut Tata Kelola Lahan Sawit di Riau oleh - seputarplanetid.xyz

Halo sahabat selamat datang di website seputarplanetid.xyz , pada kesempatan hari ini kita akan membahas seputar Kasus Sitorus, Cermin Karu...

Read more »

Krisis Kesehatan, Pengetahuan Ekologis, dan Kebijakan Publik oleh - seputarplanetid.xyz

<p>Halo sahabat selamat datang di website <a href="https://seputarplanetid.xyz">seputarplanetid.xyz</a>, pada kesempatan hari ini kita akan membahas seputar <b>Krisis Kesehatan, Pengetahuan Ekologis, dan Kebijakan Publik oleh - seputarplanetid.xyz</b>, kami sudah mempersiapkan artikel tersebut dengan informatif dan akurat, silahkan membaca</p><p>Pada 2004, Profesor Jared M. Diamond memberikan kuliah umum (<em>public lecture</em>) atas undangan National Council for Science and the Environment, Amerika Serikat. Judul pidato yang dibawakannya sangat menarik bahkan penting dibaca saat ini: <em>Lessons from Environmental Collapses of Past Societies </em>(Pelajaran dari Keruntuhan-keruntuhan Masyarakat Masa Lalu).</p> <p>Judul pidato ini bukan hanya semacam ringkasan penyederhanaan atas sekian buku ilmiah karya Jared Diamond yang sudah menjadi bacaan publik dunia termasuk di Indonesia, seperti: <em>The Third Chimpanzee: The Evolution and Future of the Human Animal</em> (1991); <em>Guns, Germs, and Steel: The Fate of Human Societies</em> (1997); <em>Collapse: How Societies Choose to Fail or Succeed</em> (2005), <em>The World Until Yesterday</em> (2012), dan <em>Upheaval</em> (2019).</p> <p>Tapi juga refleksi Jared Diamond atas perjalanan karier keilmuannya dalam meneliti dan menyaksikan kebangkitan dan keruntuhan suatu masyarakat dari masa-masa yang berbeda di berbagai sudut bumi.</p> <p>Pidato Jared Diamond memang lebih spesifik menyoroti penghancuran hutan, khususnya di Easter Island yang punya peninggalan batu-batu raksasa untuk peribadatan. Di luar fokus kasus pidato Jared Diamond, ada satu masalah penting yang diajukannya: mengapa ada masyarakat yang runtuh, tapi ada yang bisa bertahan terutama saat menghadapi krisis alam seperti wabah virus atau kehancuran lingkungan?</p> <p>Masalah ini, kata Jared Diamond, bukan saja menjadi kasus romantik secara intelektual dan ilmiah saintifik, tapi tentu saja terutama sangat penting bagi para pengambil kebijakan publik, juga masyarakat.</p> <p>Jared Diamond memberikan sketsa penting pola pikir dan perilaku pembuatan keputusan publik saat menghadapi krisis lingkungan atau wabah. Ada tiga hal penting kenapa kelompok masyarakat bisa gagal bahkan hancur kehidupannya dan kenapa ada yang berhasil mengatasinya.</p> <p>Tiga hal ini juga penting sebagai introspeksi kolektif dalam menghadapi wabah COVID-19.</p> <p> </p> <figure id="attachment_80366" class="wp-caption alignnone"><a href="https://www.mongabay.co.id/wp-content/uploads/2020/07/Moais_Isla_de_Pascua._-_panoramio.jpg"><img alt="" class="wp-image-80366 size-large" height="800" sizes="(max-width: 1200px) 100vw, 1200px" src="https://www.mongabay.co.id/wp-content/uploads/2020/07/Moais_Isla_de_Pascua._-_panoramio-1200x800.jpg" srcset="https://www.mongabay.co.id/wp-content/uploads/2020/07/Moais_Isla_de_Pascua._-_panoramio-1200x800.jpg 1200w, https://www.mongabay.co.id/wp-content/uploads/2020/07/Moais_Isla_de_Pascua._-_panoramio-768x512.jpg 768w" width="1200" /></a><figcaption class="wp-caption-text">Pulau Paskah (Easter Island) yang terletak di Samudera Pasifik. Dikenal dengan patung-patung batu besarnya. Kehancuran ekologi pulau ini menyebabkan hilang dan hancurnya peradaban masyarakatnya. Foto: Horacio Fernandez/ Wikipedia <a class="extiw" title="w:en:Creative Commons" href="https://en.wikipedia.org/wiki/en:Creative_Commons">Creative Commons</a> <a class="external text" href="https://creativecommons.org/licenses/by/3.0/deed.en" rel="nofollow">Attribution 3.0 </a></figcaption></figure> <p><strong> </strong></p> <p><strong>Tiga Penyebab Kegagalan</strong></p> <p>Yang <em>pertama</em>, apakah masyarakat itu sudah mengantisipasi masalah yang akan dihadapi. Suatu masyarakat gagal mengantisipasi masalah sebelum masalah tersebut datang, khususnya jika mereka belum pernah punya pengalaman menghadapi masalah tersebut sebelumnya.</p> <p>Antisipasi adalah penyelamat yang paling pertama. Tapi, antisipasi adalah yang sering paling diabaikan bahkan diremehkan oleh masyarakat khususnya pengambil kebijakan publik.</p> <p>Warga dunia, khususnya Indonesia, tidak pernah menghadapi COVID-19. Tapi, bukan berarti orang Indonesia atau warga dunia belum pernah menghadapi wabah virus. Catatan sejarah kedokteran dari kurun modern, selama 100 tahun terakhir, seharusnya sudah cukup menjadi pengalaman kolektif warga dunia.</p> <p>Penduduk Indonesia (Hindia Belanda dulu) sudah pernah mengalami wabah influenza, wabah kolera, wabah cacar, juga wabah beriberi yang penyebab utama dan obatnya ditemukan dokter Christiaan Eijkman. Apakah itu cukup dipahami sebagai pengetahuan-peringatan kolektif?</p> <p>Yang <em>kedua</em>, kegagalan memahami pokok masalah ketika masalah itu sudah tiba. Ilmu pengetahuan yang dimiliki masyarakat (dalam format apa pun) tidak mampu memberi petunjuk yang benar dan tidak sesuai dengan pokok masalah yang dihadapi.</p> <p>Kesiapan ilmu pengetahuan, infrastruktur lembaga penelitian ilmiah, atau rumah sakit dengan fasilitas infrastrukturnya, adalah faktor yang sangat penting keberhasilan atau kegagalan masyarakat menghadapi krisis dan wabah.</p> <p>Peringatannya sangat jelas: kebodohan menghancurkan masyarakat.</p> <p>Sejak zaman dahulu kala, ilmu menjadi faktor penting dalam memahami atau gagalpaham terhadap suatu krisis atau wabah penyakit. Sejarah rumah sakit dan ilmu pengetahuan kedokteran yang hadir di sisi para penguasa, baik melalui ahli nujum, para agamawan yang religius, sampai ahli kedokteran dengan basis ilmu sains modern, adalah bagian penting apakah suatu masyarakat bisa gagal bahkan hancur saat menghadapi krisis kesehatan.</p> <p>Yang <em>ketiga</em> adalah perilaku rasional (<em>rational behaviors</em>) yang mengatakan kepada mereka bahwa, meskipun mempunyai ilmu penangkal kehancuran tata masyarakat dan sangat paham dampak krisis atau wabah yang menerjang mereka, tapi mereka sama sekali tidak mengantisipasi bahkan tidak berusaha menghalaunya.</p> <p>Perilaku ini adalah apa yang bisa disebut sebagai tragedi kolektif atau bahkan bunuh diri berjemaah. Perilaku yang mengherankan tak mengindahkan peringatan ilmu ini biasanya karena sebagian dari kelompok masyarakat itu, khususnya elite politik pengambil kebijakan publik, akan segera terkena dampak langsung jika segera dilakukan antisipasi, pencegahan, atau pengobatan-penghalauan krisis atau wabah.</p> <p>Ada benturan dan pertarungan kepentingan antarkelompok (ekonomi, politik, agama) yang menghalangi antisipasi, penanggulangan, dan penghalauan.</p> <p>Para elite pengambil kebijakan ini, yang paling mungkin mengetahui pokok masalahnya tapi memilih berpikir rasional untuk jangka pendek, hanya membuat kebijakan jangka pendek untuk menyelamatkan kepentingan mereka saja.</p> <p>Mereka tidak melihat jauh ke masa depan. Ironisnya, seiring berkembangnya krisis atau wabah, justru kebijakan itulah yang semakin memperparah krisis. Inilah yang terjadi dengan masyarakat Easter Island yang akhirnya hancur.</p> <p>Selain benturan kepentingan sosial-ekonomi, benturan antarkelompok itu biasanya juga diikuti oleh benturan kepentingan nilai religius. Dalam kasus masyarakat Easter Island, para elite agamawan sangat membutuhkan kayu besar untuk mendirikan-menegakkan batu-batu besar sebagai bentuk kejayaan dan kebesaran mereka sebagai penguasa.</p> <p>Untuk itu, pohon-pohon besar di hutan harus ditebang, padahal kebutuhan pokok ekonomi sangat membutuhkan keberadaan hutan. Di sini, agama hanya menjadi penguat penghancuran masyarakat.</p> <p><strong><em>Baca juga:</em> <a href="https://www.mongabay.co.id/2020/05/22/jane-goodall-covid-19-adalah-produk-hubungan-tidak-selaras-manusia-dengan-satwa-dan-lingkungan/">Jane Goodall: COVID-19 adalah Produk Hubungan Tidak Selaras Manusia dengan Satwa dan Lingkungan</a></strong></p> <p> </p> <figure class="wp-caption alignnone"><img class="size-medium" height="581" src="https://www.mongabay.co.id/wp-content/uploads/2019/02/riau-6b8374f3-7d85-48ce-b33b-66a73b28c740.jpeg" width="1032" /><figcaption class="wp-caption-text">Kebakaran hutan dan lahan gambut. Kebijakan publik yang keliru membuat kerusakan ekologis dan memabawa dampak pada kerugian warga. Dok: BNPB</figcaption></figure> <p> </p> <p><strong>Koreksi dan Introspeksi</strong></p> <p>Jika tiga hal itu dijadikan sebagai instrumen untuk mengetahui apakah Indonesia bakal berhasil atau justru gagal menghadapi COVID-19, maka, <em>pertama</em>, kita bertanya membuat pertanyaan sederhana kepada pemerintah dan rakyat Indonesia: apakah sejak awal sudah mengantisipasi penyebaran COVID-19 yang hampir pasti masuk ke Indonesia?</p> <p>Apakah ada tim ilmuwan/dokter khusus untuk mempelajari, mengamati, dan membuat rekomendasi tegas kepada pemerintah pusat dan daerah bagaimana COVID-19 itu bekerja, menyebar, dan menular, apa obatnya, bagaimana mengatasinya secara bertahap.</p> <p>Lalu sebagai kebijakan: apa saja yang perlu dipersiapkan sebelum dan sesudah COVID-19 masuk ke Indonesia pertama kali.</p> <p>Apakah sudah ada persiapan rumah sakit khusus untuk menangani COVID-19 jika sudah masuk ke Indonesia, dan apakah ada tim pelacak khusus yang bertugas melacak jejak perjalanan perderita (<em>carier</em>) COVID-19?</p> <p>Secara kasar, jika kita ikuti jejak ucapan para pengambil kebijakan tertinggi Indonesia, kita bisa sepakat: tak ada kebijakan antisipasi sama sekali saat kita mendengar beritanya dari Wuhan, Tiongkok.</p> <p>Pertanyaan yang sangat penting adalah: apakah masyarakat Indonesia sudah membuat kebijakan antisipasi atau justru tidak sama sekali? Silakan Anda menilai ucapan para pejabat atau tokoh masyarakat kita termasuk orang-orang di sekitar Anda dengan tajam dan keras, mulai dari sejak berita COVID-19 di Tiongkok, hari-hari ini, sampai akhir tahun 2020 nanti.</p> <p><em>Kedua</em>, kita bisa bertanya: apakah elite pengambil keputusan publik sudah mempunyai atau menggunakan ilmu yang bisa dipercaya kebenaran kehandalannya untuk mengatasi krisis atau wabah yang sedang dihadapinya?</p> <p>Apakah yang dikatakan oleh para pemegang otoritas kebijakan publik (pejabat pemerintah, agamawan, ilmuwan sekular/religius, atau bahkan pengusaha) kepada masyarakat sudah berbasis ilmu yang bisa dipercaya teruji kebenarannya?</p> <p>Keputusan publik seharusnya berbasis ilmu yang terbukti empiris, bukan sentimen rasial atau keyakinan tak teruji objektif-ilmiah. Maka, perhatikanlah ucapan orang-orang di sekitar Anda katakan dan siapa yang secara tidak langsung telah merevisi ucapannya sendiri tentang COVID-19.</p> <p>Nilai mereka dengan keras dan tegas! Ingat: kebodohan adalah pangkal kehancuran masyarakat.</p> <p><em>Ketiga</em>, setelah Indonesia akhirnya juga terjangkiti COVID-19, setelah para elite pengambil kebijakan saling lempar ucapan, setelah korban pertama dan berikutnya terus dan terus berjatuhan, setelah masyarakat mulai resah tapi juga tak acuh, apakah mereka dan kita semua membuat kebijakan hanya yang terkait dengan kepentingan kita masing-masing tanpa ada prioritas bagi kebaikan-kemaslahatan bersama di masa depan?</p> <p>Apakah sudah tampak kebijakan yang sistematis dan bertahap yang diketahui bersama dari kebijakan yang kecil sampai yang tingkat ekstrem dalam menghadapi krisis atau wabah dan apakah kebijakan ini bisa dipatuhi masyarakat Indonesia?</p> <p><strong><em>Baca juga:</em> <a href="https://www.mongabay.co.id/2020/05/11/covid-19-dan-hukum-lingkungan-era-antroposen/">COVID-19 dan Hukum Lingkungan Era Antroposen</a></strong></p> <p> </p> <figure class="wp-caption alignnone"><img class="size-medium" height="2263" src="https://www.mongabay.co.id/wp-content/uploads/2019/09/karhutla-Murid-SDN-189-Pekanbaru-sebelumnya-tidak-mengenakan-masker-ke-sekolah.-Sebagian-hanya-menggunakan-masker-kain-yang-dicuci-ulang..jpg" width="4608" /><figcaption class="wp-caption-text">Kesehatan warga termasuk generasi penerus dipertaruhkan dengan adanya krisis ekologis yang terjadi saat ini. Foto: Suryadi/Mongabay Indonesia</figcaption></figure> <p> </p> <p><strong>Kekonyolan yang Berbahaya</strong><strong> </strong></p> <p>Perilaku masyarakat dahulu kala dengan sekarang, dalam banyak hal tidak begitu berbeda saat menghadapi krisis kesehatan atau wabah. Benturan kepentingan antarkelompok, hanya fokus kebijakan jangka pendek demi menyelamatkan kepentingan (ekonomi) kelompok tertentu.</p> <p>Juga pengabaian terhadap ilmu yang jelas mangkus alih-alih berdelusi dengan mitos bohong atau omongan tak berdasarkan data empiris, dan termasuk tak ada permohonan maaf atas ucapan ngawur bahkan bohong dari elite penguasa politik budaya.</p> <p>Yang perlu diperhatikan, kemajuan ilmu pengetahuan seperti sains kedokteran di zaman kita belum tentu dijadikan basis kebijakan publik.</p> <p>Orang Easter Island bukan tidak paham bahaya penebangan pohon hutan yang telah melindungi kehidupannya. Mereka sangat sadar dan paham tapi tak bisa berbuat banyak. Kekonyolan adu kepentingan dan kebijakan jangka pendek justru yang sering menjadi kendala utama bahkan jadi penguat krisis kesehatan atau ekologi.</p> <p>Yang di atas sibuk menghimbau, membuat kebijakan hanya untuk menyelamatkan diri sendiri, tak berani membuat kebijakan mangkus yang tegas adil; sedangkan yang di bawah tak bisa berbuat banyak atas nama desakan kebutuhan <em>real</em> sehari-hari.</p> <p>Sayup-sayup, mungkin sebagian dari kita mendengar arwah orang-orang Easter Island yang akhirnya hancur secara kolektif. Semoga apa yang dialami oleh orang-orang Easter Island tidak melanda warga dunia.</p> <p> </p> <p>* <strong>M. Fauzi Sukri,</strong> <em>penulis buku Guru dan Berguru (2015), </em><em>Pembaca Serakah (2018), dan Bahasa Ruang, Ruang Puitik (2018), peminat </em><em>filsafat pendidikan, ekonomi politik, dan filsafat agama. Artikel ini adalah opini penulis.</em></p> <p> </p> <p style="text-align: center;">***</p> <p style="text-align: center;">Foto utama: Sejumlah siswa menggunakan masker karena asap kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) di Meskom, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau. Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia</p> <p> </p> <p> </p> <p>Itulah tadi informasi mengenai <b>Krisis Kesehatan, Pengetahuan Ekologis, dan Kebijakan Publik oleh - seputarplanetid.xyz<b> dan sekianlah artikel dari kami <a href="https://seputarplanetid.xyz">seputarplanetid.xyz</a>, sampai jumpa di postingan berikutnya. selamat membaca. </p>

Krisis Kesehatan, Pengetahuan Ekologis, dan Kebijakan Publik oleh - seputarplanetid.xyz

Halo sahabat selamat datang di website seputarplanetid.xyz , pada kesempatan hari ini kita akan membahas seputar Krisis Kesehatan, Pengetahu...

Read more »

RI- Norwegia akan Perkuat Aksi Iklim, Dana US$56 Juta Segera Cair oleh - seputarplanetid.xyz

<p>Halo sahabat selamat datang di website <a href="https://seputarplanetid.xyz">seputarplanetid.xyz</a>, pada kesempatan hari ini kita akan membahas seputar <b>RI- Norwegia akan Perkuat Aksi Iklim, Dana US$56 Juta Segera Cair oleh - seputarplanetid.xyz</b>, kami sudah mempersiapkan artikel tersebut dengan informatif dan akurat, silahkan membaca</p><p> </p> <p> </p> <ul> <li><em> </em><em>Kerjasama Indonesia dan Norwegia, melalui </em><em>kerangka kerja reducing emissions from deforestation and forest degradation plus (REDD+), sudah berjalan 10 tahun. Kerjasama lanjutan, Indonesia akan memasukkan restorasi gambut dan mangrove guna memperkuat aksi iklim.</em></li> <li> <em>Kerjasama Indonesia-Norwegia, sudah memasuki fase ketiga alias masa pembayaran hasil. </em><em>Indonesia segera memperoleh sekitar US$56 juta atau lebih Rp840 miliar dari Norwegia dan kemungkinan cari Juni 2020.</em></li> <li> <em>Berdasarkan hasil verifikasi verifikator independen yang ditunjuk Norwegia memperlihatkan, Indonesia berhasil melakukan upaya penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) Indonesia hingga 11,2 juta ton CO2eq. Angka itu, jauh lebih tinggi dari laporan awal oleh Indonesia, yakni, 4,8 juta ton CO2eq.</em></li> <li> <em>Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan mengatakan, Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) yang diberi mandat mengelola dana ini harus segera memastikan ada perwakilan multi pihak dalam struktur tata kelolanya, termasuk masyarakat sipil dan masyarakat adat atau lokal.</em></li> </ul> <p> </p> <p> </p> <p>Kerjasama Indonesia dan Norwegia sudah memasuki tahun kesepuluh. Kedua negara berkomitmen memperkuat kerja sama guna mengatasi krisis iklim melalui <em>Letter of Intent </em>(LoI) ke depan. Satu dekade lalu, Mei 2010, Indonesia dan Norwegia menandatangani perjanjian bilateral guna mengurangi emisi gas rumah kaca dari deforestasi dan degradasi hutan. Dalam kaitan kerjasama ini, Indonesia segera memperoleh sekitar US$56 juta atau lebih Rp840 miliar dari Norwegia dan kemungkinan cari Juni 2020.</p> <p>“Kerja sama antara Indonesia dan Norway ini sudah berjalan cukup lama, 10 tahun dalam pengurangan emisi khusus dari deforestasi dan degradasi dan banyak <em>achievement </em>sudah dicapai, tentu berlandaskan <em>achievement itu</em>, kedua negara sepakat memperpanjang kerja sama ini melalui amandemen LoI,” kata Alue Dohong, Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam konferensi pers 10 Tahun Kerja Sama Indonesia-Norwegia, di Jakarta, akhir pekan ini.</p> <p>Sebelumnya, pemerintah Norwegia menjanjikan dukungan pendanaan hingga US$1 miliar yang dibayarkan berdasarkan hasil pengurangan emisi deforestasi dan defradasi hutan dan lahan gambut Indonesia.</p> <p>Kerja sama melalui kerangka kerja <em>reducing emissions from deforestation and forest degradation plus </em>(REDD+) yang bernaung di bawah United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC).</p> <p>Kesepakatan ini pun telah memasuki tahap tiga, yakni, pembayaran hasil (<em>result base payment/</em>RBP). Artinya, Indonesia akan memperoleh sekitar US$56 juta dari Norwegia sebagai pembayaran pendanaan iklim dan hutan pertama atas keberhasilan penurunan emisi gas rumah kaca.</p> <p>“Kami sedang dalam proses diskusi waktu dan format untuk <em>result base payment </em>pertama. Pencairannya harus menunggu sampai Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup beroperasi secara penuh,” kata Vegard Kaale, Duta Besar Norwegia untuk Indonesia.</p> <p>Berdasarkan hasil verifikasi verifikator independen yang ditunjuk Norwegia memperlihatkan, Indonesia berhasil melakukan upaya penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) Indonesia hingga 11,2 juta ton CO2eq. Angka itu, jauh lebih tinggi dari laporan awal oleh Indonesia, yakni, 4,8 juta ton CO2eq.</p> <p>Hasil penilaian dari Norwegia itu jadi dasar pembayaran kinerja pengurangan emisi GRK dari deforestasi dan degradasi hutan Indonesia 2016-2017. Adapun harga per ton CO2eq sebesar US$5, yang mengacu harga berlaku pada World Bank tentang REDD+.</p> <p> </p> <figure id="attachment_78861" class="wp-caption alignnone"><img alt="" class="size-full wp-image-78861" height="600" sizes="(max-width: 900px) 100vw, 900px" src="https://www.mongabay.co.id/wp-content/uploads/2020/05/Kebakaran-hutan-lahan.jpg" srcset="https://www.mongabay.co.id/wp-content/uploads/2020/05/Kebakaran-hutan-lahan.jpg 900w, https://www.mongabay.co.id/wp-content/uploads/2020/05/Kebakaran-hutan-lahan-768x512.jpg 768w" width="900" /><figcaption class="wp-caption-text">Kebakaran hutan dan lahan. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia</figcaption></figure> <p> </p> <p>Ruandha Agung Sugardiman, Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim KLHK menyebutkan, keberhasilan pencapaian kesiapan REDD+ Indonesia dengan berbagai kebijakan, antara lain, <em>pertama</em>, moratorium penerbitan izin baru pengelolaan hutan alam primer dan lahan gambut pada 2011 dan jadi permanen 2019.</p> <p><em>Kedua</em>, melindungi area gambut dan pembentukan Badan Restorasi Gambut (BRG) pada 2016. <em>Ketiga</em>, moratorium izin sawit pada 2018 dengan mengedepankan pada intensifikasi perkebunan. “Kebijakan satu peta, yang dikenal dengan <em>one map policy</em>, merupakan alat perencanaan tata ruang umum untuk seluruh Indonesia dan semua pemerintahan,” katanya, seraya bilang, praktik pengelolaan hutan di tingkat lokal diperkuat melalui Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) dan program perhutanan sosial.</p> <p>“Diproyeksikan Juni 2020 dana dibayarkan dengan skema RBP. Ini pembayaran pertama kali atas prestasi penurunan emisi karbon dari kehutanan pada 2016/2017. Keberhasilan mengurangi emisi ini tidak terlepas dari komitmen, dukungan dan upaya korektif pemerintah secara kolektif di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi,” <a href="https://ppid.menlhk.go.id/siaran_pers/browse/2481">ujar</a> Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dalam rilis kepada media.</p> <p>Saat ini, pemerintah menyiapkan sejumlah dokumen dan laporan sebagai prasyarat pembayaran, seperti dokumen <em>measurement, reporting, and verification </em>(MRV) sebagai basis panduan penghitungan RBP untuk kinerja REDD+ Indonesia sejak 2016, dan mencapai kesepakatan pada Februari 2019.</p> <p>Siti mengatakan, presiden memerintahkan dana ini untuk program pemulihan lingkungan berbasis masyarakat, yaitu, sebanyak mungkin melibatkan partisipasi masyarakat, seperti penanaman pohon dan upaya-upaya revitalisasi ekonomi lokal berkelanjutan.</p> <p> </p> <p><strong>Selanjutnya?</strong></p> <p>Alue mengatakan, LoI akan diperkuat dalam komitmen pencapaian iklim. “Kalau di REDD+ yang pertama kita hanya fokus pada pengurangan degradasi dan deforestasi hutan, saat ini kita mau memasukkan gambut dan mangrove dalam kerja sama yang baru,” katanya.</p> <p>Menurut dia, upaya restorasi gambut saat ini sudah baik dan perlu dapat penghargaan. “Jadi <em>title</em> utamamya masih REDD+, tapi konteksnya lebih banyak dukung di kegiatan tapak. Seperti perhutanan sosial, <em>kan </em>banyak izin-izin perhutanan sosial yang kita berikan untuk kelola dan rehabilitasi hutan serta pengembangan bibit-bibit rakyat dan desa,” katanya.</p> <p>Berdasarkan pengalaman kerjasama selama satu dekade, kedua negara sepakat, beberapa bidang pokok akan mendapat perhatian bersama, yakni, meningkatkan, memperbaiki dan berinvestasi pada kesejahteraan pedesaan berkelanjutan, dan penegakan hukum ketat di kawasan lindung. Juga, kajian atas konsesi dan izin-izin untuk memastikan kepatuhan hukum dan lingkungan, membangun bisnis berkelanjutan dan melindungi hak-hak masyarakat adat serta masyarakat lain yang bergantung pada hutan.</p> <p>“Pencegahan kebakaran, restorasi dan pembasahan kembali lahan gambut yang rusak. Menguatkan pengelolaan hutan lestari, dan berinvestasi pada penelitian berbasis ilmiah yang memastikan kualitas semua kegiatan,” kata Ruanda.</p> <p><iframe src="https://www.youtube.com/embed/OLJ7SP5fwLo" width="766" height="480" frameborder="0" allowfullscreen="allowfullscreen"></iframe><br /> KLHk juga akan mengenalkan instrumen-instrumen keuangan yang memberikan penghargaan pada penekanan deforestasi dan perilaku perencanaan tata guna lahan berkelanjutan untuk masyarakat lokal, dan pemerintah daerah.</p> <p>Vegard Kaale, mengatakan, amandemen LoI masih didiskusikan intens antara KLHK dan Kementerian Iklim dan Lingkungan Hidup Norwegia. Dia memastikan, amandemen ini akan disepakati tahun ini.</p> <p>“Reformasi kebijakan Indonesia mulai membuahkan hasil. Saya senang, deforestasi menurun dibandingkan rata-rata 10 tahunan.”</p> <p>Dia optimis dan siap melanjutkan kerja sama ini. “Kita sedang berhadapan masalah yang sangat kompleks hingga membutuhkan waktu dalam menjalankannya.”</p> <p>Kaale menyambut baik upaya Indonesia lebih ambisius dalam tata kelola hutan dan deforestasi. Mereka juga akan menggunakan standar lingkungan lebih tinggi untuk meverifikasi pengurangan emisi.</p> <p><strong> </strong></p> <p><strong>Harus tepat sasaran</strong></p> <p>Yayasan Madani Berkelanjutan mengapresiasi arahan presiden Joko Widodo yang memerintahkan agar dana ini untuk program-program pemulihan hutan dan lingkungan berbasis masyarakat. Contoh, perhutanan sosial berpotensi kontribusi hingga 34,6% terhadap pencapaian target <em>nationally determined contributions </em>(NDC) Indonesia dari pengurangan deforestasi. Terutama, kalau fokus pada wilayah dengan risiko deforestasi tinggi dan diberi pendampingan maksimal untuk pengembangan ekonomi lokal sejalan dengan aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.</p> <p>Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan mengatakan, Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) yang diberi mandat mengelola dana ini harus segera memastikan ada perwakilan multi pihak dalam struktur tata kelolanya, termasuk masyarakat sipil dan masyarakat adat atau lokal. “Agar program-program pengurangan deforestasi dan degradasi yang dijalankan betul-betul tepat sasaran dan bermanfaat bagi komunitas,” katanya.</p> <p>Berdasarkan analisis Madani terhadap data deforestasi KLHK, angka deforestasi bruto Indonesia menunjukkan tren penurunan selama 2003-2018, namun terdapat lonjakan besar pada 2014-2015, saat momentum politik pemilihan umum.</p> <p>Deforestasi bruto tertinggi pada periode 2003-2018 terjadi di Riau (1,8 juta hektar), Kalimantan Tengah (1,4 juta hektar), Kalimantan Timur (1,2 juta hektar), dan Kalimantan Barat (1,16) juta hektar).</p> <p>Hutan alam tersisa Indonesia pada 2018, paling luas terdapat di Papua (24,9 juta hektar), Papua Barat (8,8 juta hektar), Kalimantan Tengah (7,2 juta hektar), Kalimantan Timur (6,5 juta hektar), Kalimantan Utara (5,6 juta hektar), dan Kalimantan Barat (5,4 juta hektar).</p> <p>Meski terlihat luas, katanya, luasan hutan alam di luar peta indikatif penundaan pemberian izin baru (PIPPIB) dan peta indikatif dan areal perhutanan sosial (PIAPS) yang belum terbebani izin atau konsesi sangat kecil, hanya 9,5 juta (10,7%) dari 88,7 juta hektar hutan alam tersisa pada 2018. Dari situ, katanya, terluas berada di Papua (1,3 juta hektar), Maluku (912.000 hektar), Nusa Tenggara Timur (857.000 hektar), dan Kalimantan Tengah (855.000 hektar). Kemudian, Sulawesi Tengah (821.000 hektar), Kalimantan Timur (586.000 hektar), dan Maluku Utara (581.000 hektar).</p> <p>“Hutan alam dengan luas 9,5 juta hektar ini perlu segera dilindungi oleh kebijakan penghentian izin baru yang diperluas cakupan agar tidak lenyap akibat perluasan izin skala besar,” kata Teguh.</p> <p>Sebelumnya, pemerintah Indonesia telah mengumumkan angka deforestasi kotor (bruto) Indonesia pada 2018-2019, sebesar 465.500 hektar dan angka deforestasi bersih (netto) 462.400 hektar.</p> <p>“Madani mengapresiasi penurunan angka deforestasi Indonesia meskipun tidak terlalu signifikan sebagai hasil dari berbagai kebijakan korektif yang dikeluarkan pemerintah serta kerja sama internasional yang baik dengan berbagai negara sahabat, termasuk Norwegia.”</p> <p>Teguh berharap, kemitraan kedua negara ini lanjut dan makin kuat dengan menekankan pada aspek keterbukaan data dan informasi, partisipasi, serta penghormatan pada hak-hak masyarakat adat maupun lokal terhadap hutan dan sumber daya alam.</p> <p> </p> <p>Keterangan foto utama: Hutan yang terbabat akan jadi kebun sawit. Foto: SOB</p> <p> </p> <figure id="attachment_73831" class="wp-caption alignnone"><img alt="" class="size-full wp-image-73831" height="599" sizes="(max-width: 1158px) 100vw, 1158px" src="https://www.mongabay.co.id/wp-content/uploads/2019/09/mangrove-Kondisi-hutan-mangrove-di-Pulau-Kucing-yang-masih-terjaga-drngan-baik-4-1.jpg" srcset="https://www.mongabay.co.id/wp-content/uploads/2019/09/mangrove-Kondisi-hutan-mangrove-di-Pulau-Kucing-yang-masih-terjaga-drngan-baik-4-1.jpg 1158w, https://www.mongabay.co.id/wp-content/uploads/2019/09/mangrove-Kondisi-hutan-mangrove-di-Pulau-Kucing-yang-masih-terjaga-drngan-baik-4-1-768x397.jpg 768w, https://www.mongabay.co.id/wp-content/uploads/2019/09/mangrove-Kondisi-hutan-mangrove-di-Pulau-Kucing-yang-masih-terjaga-drngan-baik-4-1-100x52.jpg 100w" width="1158" /><figcaption class="wp-caption-text">Kondisi hutan mangrove di Pulau Kucing yang masih terjaga dengan baik. Hutan mangrove, salah satu poin yang akan dimasukkan dalam kerja sama Indonesia-Norwegia lanjutan.  Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia</figcaption></figure> <p>Itulah tadi informasi dari <a href="https://www.indobetpoker.net">poker online</a> mengenai <b>RI- Norwegia akan Perkuat Aksi Iklim, Dana US$56 Juta Segera Cair oleh - seputarplanetid.xyz<b> dan sekianlah artikel dari kami <a href="https://seputarplanetid.xyz">seputarplanetid.xyz</a>, sampai jumpa di postingan berikutnya. selamat membaca. </p>

RI- Norwegia akan Perkuat Aksi Iklim, Dana US$56 Juta Segera Cair oleh - seputarplanetid.xyz

Halo sahabat selamat datang di website seputarplanetid.xyz , pada kesempatan hari ini kita akan membahas seputar RI- Norwegia akan Perkuat A...

Read more »

RI- Norwegia akan Perkuat Aksi Iklim, Dana US$56 Juta Segera Cair oleh - seputarplanetid.xyz

<p>Halo sahabat selamat datang di website <a href="https://seputarplanetid.xyz">seputarplanetid.xyz</a>, pada kesempatan hari ini kita akan membahas seputar <b>RI- Norwegia akan Perkuat Aksi Iklim, Dana US$56 Juta Segera Cair oleh - seputarplanetid.xyz</b>, kami sudah mempersiapkan artikel tersebut dengan informatif dan akurat, silahkan membaca</p><p> </p> <p> </p> <ul> <li><em> </em><em>Kerjasama Indonesia dan Norwegia, melalui </em><em>kerangka kerja reducing emissions from deforestation and forest degradation plus (REDD+), sudah berjalan 10 tahun. Kerjasama lanjutan, Indonesia akan memasukkan restorasi gambut dan mangrove guna memperkuat aksi iklim.</em></li> <li> <em>Kerjasama Indonesia-Norwegia, sudah memasuki fase ketiga alias masa pembayaran hasil. </em><em>Indonesia segera memperoleh sekitar US$56 juta atau lebih Rp840 miliar dari Norwegia dan kemungkinan cari Juni 2020.</em></li> <li> <em>Berdasarkan hasil verifikasi verifikator independen yang ditunjuk Norwegia memperlihatkan, Indonesia berhasil melakukan upaya penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) Indonesia hingga 11,2 juta ton CO2eq. Angka itu, jauh lebih tinggi dari laporan awal oleh Indonesia, yakni, 4,8 juta ton CO2eq.</em></li> <li> <em>Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan mengatakan, Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) yang diberi mandat mengelola dana ini harus segera memastikan ada perwakilan multi pihak dalam struktur tata kelolanya, termasuk masyarakat sipil dan masyarakat adat atau lokal.</em></li> </ul> <p> </p> <p> </p> <p>Kerjasama Indonesia dan Norwegia sudah memasuki tahun kesepuluh. Kedua negara berkomitmen memperkuat kerja sama guna mengatasi krisis iklim melalui <em>Letter of Intent </em>(LoI) ke depan. Satu dekade lalu, Mei 2010, Indonesia dan Norwegia menandatangani perjanjian bilateral guna mengurangi emisi gas rumah kaca dari deforestasi dan degradasi hutan. Dalam kaitan kerjasama ini, Indonesia segera memperoleh sekitar US$56 juta atau lebih Rp840 miliar dari Norwegia dan kemungkinan cari Juni 2020.</p> <p>“Kerja sama antara Indonesia dan Norway ini sudah berjalan cukup lama, 10 tahun dalam pengurangan emisi khusus dari deforestasi dan degradasi dan banyak <em>achievement </em>sudah dicapai, tentu berlandaskan <em>achievement itu</em>, kedua negara sepakat memperpanjang kerja sama ini melalui amandemen LoI,” kata Alue Dohong, Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam konferensi pers 10 Tahun Kerja Sama Indonesia-Norwegia, di Jakarta, akhir pekan ini.</p> <p>Sebelumnya, pemerintah Norwegia menjanjikan dukungan pendanaan hingga US$1 miliar yang dibayarkan berdasarkan hasil pengurangan emisi deforestasi dan defradasi hutan dan lahan gambut Indonesia.</p> <p>Kerja sama melalui kerangka kerja <em>reducing emissions from deforestation and forest degradation plus </em>(REDD+) yang bernaung di bawah United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC).</p> <p>Kesepakatan ini pun telah memasuki tahap tiga, yakni, pembayaran hasil (<em>result base payment/</em>RBP). Artinya, Indonesia akan memperoleh sekitar US$56 juta dari Norwegia sebagai pembayaran pendanaan iklim dan hutan pertama atas keberhasilan penurunan emisi gas rumah kaca.</p> <p>“Kami sedang dalam proses diskusi waktu dan format untuk <em>result base payment </em>pertama. Pencairannya harus menunggu sampai Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup beroperasi secara penuh,” kata Vegard Kaale, Duta Besar Norwegia untuk Indonesia.</p> <p>Berdasarkan hasil verifikasi verifikator independen yang ditunjuk Norwegia memperlihatkan, Indonesia berhasil melakukan upaya penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) Indonesia hingga 11,2 juta ton CO2eq. Angka itu, jauh lebih tinggi dari laporan awal oleh Indonesia, yakni, 4,8 juta ton CO2eq.</p> <p>Hasil penilaian dari Norwegia itu jadi dasar pembayaran kinerja pengurangan emisi GRK dari deforestasi dan degradasi hutan Indonesia 2016-2017. Adapun harga per ton CO2eq sebesar US$5, yang mengacu harga berlaku pada World Bank tentang REDD+.</p> <p> </p> <figure id="attachment_78861" class="wp-caption alignnone"><img alt="" class="size-full wp-image-78861" height="600" sizes="(max-width: 900px) 100vw, 900px" src="https://www.mongabay.co.id/wp-content/uploads/2020/05/Kebakaran-hutan-lahan.jpg" srcset="https://www.mongabay.co.id/wp-content/uploads/2020/05/Kebakaran-hutan-lahan.jpg 900w, https://www.mongabay.co.id/wp-content/uploads/2020/05/Kebakaran-hutan-lahan-768x512.jpg 768w" width="900" /><figcaption class="wp-caption-text">Kebakaran hutan dan lahan. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia</figcaption></figure> <p> </p> <p>Ruandha Agung Sugardiman, Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim KLHK menyebutkan, keberhasilan pencapaian kesiapan REDD+ Indonesia dengan berbagai kebijakan, antara lain, <em>pertama</em>, moratorium penerbitan izin baru pengelolaan hutan alam primer dan lahan gambut pada 2011 dan jadi permanen 2019.</p> <p><em>Kedua</em>, melindungi area gambut dan pembentukan Badan Restorasi Gambut (BRG) pada 2016. <em>Ketiga</em>, moratorium izin sawit pada 2018 dengan mengedepankan pada intensifikasi perkebunan. “Kebijakan satu peta, yang dikenal dengan <em>one map policy</em>, merupakan alat perencanaan tata ruang umum untuk seluruh Indonesia dan semua pemerintahan,” katanya, seraya bilang, praktik pengelolaan hutan di tingkat lokal diperkuat melalui Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) dan program perhutanan sosial.</p> <p>“Diproyeksikan Juni 2020 dana dibayarkan dengan skema RBP. Ini pembayaran pertama kali atas prestasi penurunan emisi karbon dari kehutanan pada 2016/2017. Keberhasilan mengurangi emisi ini tidak terlepas dari komitmen, dukungan dan upaya korektif pemerintah secara kolektif di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi,” <a href="https://ppid.menlhk.go.id/siaran_pers/browse/2481">ujar</a> Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dalam rilis kepada media.</p> <p>Saat ini, pemerintah menyiapkan sejumlah dokumen dan laporan sebagai prasyarat pembayaran, seperti dokumen <em>measurement, reporting, and verification </em>(MRV) sebagai basis panduan penghitungan RBP untuk kinerja REDD+ Indonesia sejak 2016, dan mencapai kesepakatan pada Februari 2019.</p> <p>Siti mengatakan, presiden memerintahkan dana ini untuk program pemulihan lingkungan berbasis masyarakat, yaitu, sebanyak mungkin melibatkan partisipasi masyarakat, seperti penanaman pohon dan upaya-upaya revitalisasi ekonomi lokal berkelanjutan.</p> <p> </p> <p><strong>Selanjutnya?</strong></p> <p>Alue mengatakan, LoI akan diperkuat dalam komitmen pencapaian iklim. “Kalau di REDD+ yang pertama kita hanya fokus pada pengurangan degradasi dan deforestasi hutan, saat ini kita mau memasukkan gambut dan mangrove dalam kerja sama yang baru,” katanya.</p> <p>Menurut dia, upaya restorasi gambut saat ini sudah baik dan perlu dapat penghargaan. “Jadi <em>title</em> utamamya masih REDD+, tapi konteksnya lebih banyak dukung di kegiatan tapak. Seperti perhutanan sosial, <em>kan </em>banyak izin-izin perhutanan sosial yang kita berikan untuk kelola dan rehabilitasi hutan serta pengembangan bibit-bibit rakyat dan desa,” katanya.</p> <p>Berdasarkan pengalaman kerjasama selama satu dekade, kedua negara sepakat, beberapa bidang pokok akan mendapat perhatian bersama, yakni, meningkatkan, memperbaiki dan berinvestasi pada kesejahteraan pedesaan berkelanjutan, dan penegakan hukum ketat di kawasan lindung. Juga, kajian atas konsesi dan izin-izin untuk memastikan kepatuhan hukum dan lingkungan, membangun bisnis berkelanjutan dan melindungi hak-hak masyarakat adat serta masyarakat lain yang bergantung pada hutan.</p> <p>“Pencegahan kebakaran, restorasi dan pembasahan kembali lahan gambut yang rusak. Menguatkan pengelolaan hutan lestari, dan berinvestasi pada penelitian berbasis ilmiah yang memastikan kualitas semua kegiatan,” kata Ruanda.</p> <p><iframe src="https://www.youtube.com/embed/OLJ7SP5fwLo" width="766" height="480" frameborder="0" allowfullscreen="allowfullscreen"></iframe><br /> KLHk juga akan mengenalkan instrumen-instrumen keuangan yang memberikan penghargaan pada penekanan deforestasi dan perilaku perencanaan tata guna lahan berkelanjutan untuk masyarakat lokal, dan pemerintah daerah.</p> <p>Vegard Kaale, mengatakan, amandemen LoI masih didiskusikan intens antara KLHK dan Kementerian Iklim dan Lingkungan Hidup Norwegia. Dia memastikan, amandemen ini akan disepakati tahun ini.</p> <p>“Reformasi kebijakan Indonesia mulai membuahkan hasil. Saya senang, deforestasi menurun dibandingkan rata-rata 10 tahunan.”</p> <p>Dia optimis dan siap melanjutkan kerja sama ini. “Kita sedang berhadapan masalah yang sangat kompleks hingga membutuhkan waktu dalam menjalankannya.”</p> <p>Kaale menyambut baik upaya Indonesia lebih ambisius dalam tata kelola hutan dan deforestasi. Mereka juga akan menggunakan standar lingkungan lebih tinggi untuk meverifikasi pengurangan emisi.</p> <p><strong> </strong></p> <p><strong>Harus tepat sasaran</strong></p> <p>Yayasan Madani Berkelanjutan mengapresiasi arahan presiden Joko Widodo yang memerintahkan agar dana ini untuk program-program pemulihan hutan dan lingkungan berbasis masyarakat. Contoh, perhutanan sosial berpotensi kontribusi hingga 34,6% terhadap pencapaian target <em>nationally determined contributions </em>(NDC) Indonesia dari pengurangan deforestasi. Terutama, kalau fokus pada wilayah dengan risiko deforestasi tinggi dan diberi pendampingan maksimal untuk pengembangan ekonomi lokal sejalan dengan aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.</p> <p>Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan mengatakan, Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) yang diberi mandat mengelola dana ini harus segera memastikan ada perwakilan multi pihak dalam struktur tata kelolanya, termasuk masyarakat sipil dan masyarakat adat atau lokal. “Agar program-program pengurangan deforestasi dan degradasi yang dijalankan betul-betul tepat sasaran dan bermanfaat bagi komunitas,” katanya.</p> <p>Berdasarkan analisis Madani terhadap data deforestasi KLHK, angka deforestasi bruto Indonesia menunjukkan tren penurunan selama 2003-2018, namun terdapat lonjakan besar pada 2014-2015, saat momentum politik pemilihan umum.</p> <p>Deforestasi bruto tertinggi pada periode 2003-2018 terjadi di Riau (1,8 juta hektar), Kalimantan Tengah (1,4 juta hektar), Kalimantan Timur (1,2 juta hektar), dan Kalimantan Barat (1,16) juta hektar).</p> <p>Hutan alam tersisa Indonesia pada 2018, paling luas terdapat di Papua (24,9 juta hektar), Papua Barat (8,8 juta hektar), Kalimantan Tengah (7,2 juta hektar), Kalimantan Timur (6,5 juta hektar), Kalimantan Utara (5,6 juta hektar), dan Kalimantan Barat (5,4 juta hektar).</p> <p>Meski terlihat luas, katanya, luasan hutan alam di luar peta indikatif penundaan pemberian izin baru (PIPPIB) dan peta indikatif dan areal perhutanan sosial (PIAPS) yang belum terbebani izin atau konsesi sangat kecil, hanya 9,5 juta (10,7%) dari 88,7 juta hektar hutan alam tersisa pada 2018. Dari situ, katanya, terluas berada di Papua (1,3 juta hektar), Maluku (912.000 hektar), Nusa Tenggara Timur (857.000 hektar), dan Kalimantan Tengah (855.000 hektar). Kemudian, Sulawesi Tengah (821.000 hektar), Kalimantan Timur (586.000 hektar), dan Maluku Utara (581.000 hektar).</p> <p>“Hutan alam dengan luas 9,5 juta hektar ini perlu segera dilindungi oleh kebijakan penghentian izin baru yang diperluas cakupan agar tidak lenyap akibat perluasan izin skala besar,” kata Teguh.</p> <p>Sebelumnya, pemerintah Indonesia telah mengumumkan angka deforestasi kotor (bruto) Indonesia pada 2018-2019, sebesar 465.500 hektar dan angka deforestasi bersih (netto) 462.400 hektar.</p> <p>“Madani mengapresiasi penurunan angka deforestasi Indonesia meskipun tidak terlalu signifikan sebagai hasil dari berbagai kebijakan korektif yang dikeluarkan pemerintah serta kerja sama internasional yang baik dengan berbagai negara sahabat, termasuk Norwegia.”</p> <p>Teguh berharap, kemitraan kedua negara ini lanjut dan makin kuat dengan menekankan pada aspek keterbukaan data dan informasi, partisipasi, serta penghormatan pada hak-hak masyarakat adat maupun lokal terhadap hutan dan sumber daya alam.</p> <p> </p> <p>Keterangan foto utama: Hutan yang terbabat akan jadi kebun sawit. Foto: SOB</p> <p> </p> <figure id="attachment_73831" class="wp-caption alignnone"><img alt="" class="size-full wp-image-73831" height="599" sizes="(max-width: 1158px) 100vw, 1158px" src="https://www.mongabay.co.id/wp-content/uploads/2019/09/mangrove-Kondisi-hutan-mangrove-di-Pulau-Kucing-yang-masih-terjaga-drngan-baik-4-1.jpg" srcset="https://www.mongabay.co.id/wp-content/uploads/2019/09/mangrove-Kondisi-hutan-mangrove-di-Pulau-Kucing-yang-masih-terjaga-drngan-baik-4-1.jpg 1158w, https://www.mongabay.co.id/wp-content/uploads/2019/09/mangrove-Kondisi-hutan-mangrove-di-Pulau-Kucing-yang-masih-terjaga-drngan-baik-4-1-768x397.jpg 768w, https://www.mongabay.co.id/wp-content/uploads/2019/09/mangrove-Kondisi-hutan-mangrove-di-Pulau-Kucing-yang-masih-terjaga-drngan-baik-4-1-100x52.jpg 100w" width="1158" /><figcaption class="wp-caption-text">Kondisi hutan mangrove di Pulau Kucing yang masih terjaga dengan baik. Hutan mangrove, salah satu poin yang akan dimasukkan dalam kerja sama Indonesia-Norwegia lanjutan.  Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia</figcaption></figure> <p>Itulah tadi informasi dari <a href="https://www.indobetpoker.net">poker online</a> mengenai <b>RI- Norwegia akan Perkuat Aksi Iklim, Dana US$56 Juta Segera Cair oleh - seputarplanetid.xyz<b> dan sekianlah artikel dari kami <a href="https://seputarplanetid.xyz">seputarplanetid.xyz</a>, sampai jumpa di postingan berikutnya. selamat membaca. </p>

RI- Norwegia akan Perkuat Aksi Iklim, Dana US$56 Juta Segera Cair oleh - seputarplanetid.xyz

Halo sahabat selamat datang di website seputarplanetid.xyz , pada kesempatan hari ini kita akan membahas seputar RI- Norwegia akan Perkuat A...

Read more »

Studi: Bisnis Sawit Tidak Selalu Sejalan dengan Kesejahteraan Masyarakat Setempat oleh - seputarplanetid.xyz

<p>Halo sahabat selamat datang di website <a href="https://seputarplanetid.xyz">seputarplanetid.xyz</a>, pada kesempatan hari ini kita akan membahas seputar <b>Studi: Bisnis Sawit Tidak Selalu Sejalan dengan Kesejahteraan Masyarakat Setempat oleh - seputarplanetid.xyz</b>, kami sudah mempersiapkan artikel tersebut dengan informatif dan akurat, silahkan membaca</p><p> </p> <ul> <li><em>Apakah kehadiran industri sawit di satu daerah mampu mesejahterakan masyarakat hingga tingkat tapak atau hanya segelintir orang? Penelitian Yayasan Madani, Maret lalu mencoba menjawab isu ini. Madami menyandingkan data produk domestik regional bruto (PDRB) di wilayah yang memiliki luasan sawit terluas di Indonesia. Hasilnya?</em></li> <li> <em>Trias Fetra Ramadhan, peneliti Yayasan Madani mengatakan, tren penambahan luas lahan sawit tidak seiring dengan kenaikan produktivitas sawit Indonesia. Produktivitas sawit dinilai stagnan berdasarkan data Ditjenbun 2010-2019, sebesar pada 2013, sebesar 3,5 ton per hektar dan 3,6 ton per hektar pada 2018.</em></li> <li> <em>Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani mengatakan, nilai devisa yang disumbangkan bisnis sawit mencapai Rp289 triliun per tahun, namun petani dan rakyat kecil masih belum mendapatkan kesejahteraan dari industri ini.</em></li> <li> <em>Berdasarkan<span style="color: #339966;"> <a style="color: #339966;" href="https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S0264837718314923">studi</a></span> Santika dkk. terkait perubahan lanskap, mata pencaharian dan kesejahteraan desa di sekitar perkebunan sawit di Kalimantan memperlihatkan, masyarakat dari beberapa desa bersawit pendapatan lebih tinggi. Meskipun begitu, akses makanan, air, kesehatan lebih rendah dibadingkan desa yang tak menanam sawit.</em></li> </ul> <p> </p> <p>Pemerintah Indonesia kerap mengatakan, industri sawit merupakan andalan pemasukan negara dan sektor prioritas. Apakah kehadiran industri sawit di satu daerah mampu mesejahterakan masyarakat hingga tingkat tapak atau hanya segelintir orang? Penelitian Yayasan Madani, Maret lalu mencoba menjawab isu ini. Madami menyandingkan data produk domestik regional bruto (PDRB) di wilayah yang memiliki luasan sawit terluas di Indonesia. Hasilnya?</p> <p>“Dari 10 provinsi dengan rata-rata penambahan luas lahan terbesar hanya tiga yang masyarakat pedesaannya memiliki kesejahteraan tinggi,” kata Trias Fetra Ramadhan, peneliti Yayasan Madani, belum lama ini.</p> <p>Berdasarkan data Statistik Komoditas Sawit, Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian 2010-2019, ada lima provinsi di Indonesia yang memiliki laju pertambahan luas perkebunan sawit tertinggi, yakni, Riau (105.000 hektar), Kalimantan Barat (98.918 hektar), Kalimantan Timur (72.478 hektar), Kalimantan Tengah (68.184 hektar) dan Sumatera Utara (50.000 hektar).</p> <p><strong>Baca juga: <span style="color: #339966;"><a style="color: #339966;" href="https://www.mongabay.co.id.2020/05/20/kebun-sawit-riau-terluas-tak-jamin-rakyat-sejahtera-dan-berdaulat-pangan/">Kebun Sawit Riau Terluas, Tak Jamin Rakyat Sejahtera dan Berdaulat Pangan</a> </span></strong></p> <p>Kemudian disusul Jambi (38.974 hektar), Sumatera Selatan (37.590), Aceh (19.947), Kalimantan Selatan (17.533), dan Sumatera Barat (14.163 hektar).</p> <p>Sayangnya, kata Trias, tren penambahan luas lahan sawit ini tidak seiring dengan kenaikan produktivitas sawit Indonesia. Produktivitas sawit dinilai stagnan berdasarkan data Ditjenbun 2010-2019, sebesar pada 2013, sebesar 3,5 ton per hektar dan 3,6 ton per hektar pada 2018.</p> <p>Kondisi ini, katanya, perlu ada pembenahan tata kelola yang harus jadi fokus semua pihak dalam mengurai permasalahan perkebunan sawit Indonesia.</p> <p><strong>Baca juga: <span style="color: #339966;"><a style="color: #339966;" href="https://wwwmongabay.co.id/2019/10/07/potret-perempuan-iban-dan-orang-rimba-kala-hutan-hilang-jadi-kebun-sawit/">Potret Perempuan Iban dan Orang Rimba Kala Hutan Hilang jadi Kebun Sawit</a></span></strong></p> <p>Sebuah provinsi disebut memiliki kesejahteraan tinggi dilihat dari rata-rata nasional konsumsi non makanan sebesar 42,15%, yang ditetapkan Badan Pusat Statistik Nasional 2019. Provinsi yang termasuk dalam kriteria itu memiliki komoditas sawit adalah Riau 43,63%, Kalimantan Timur 47.03%, dan Jambi 42.33%.</p> <p>Meski demikian, tidak sepenuhnya kesejahteraan masyarakat desa di tiga provinsi itu bersumber dari sawit. Di Riau, misal, desa bersawit 44,2% atau 1.875 desa, Kalimantan Timur 27,2% (841 desa), dan Jambi 22,8% (1.399 desa). Desa lain memiliki komoditas unggulan berupa karet dan kelapa. Di Jambi, memiliki karet dan kayu manis.</p> <p>“Keuntungan yang dianggap komoditas strategis dan prioitas itu ternyata tidak signifikan berdampak pada masyarakat sekitar perkebunan sawit,” katanya.</p> <p> </p> <p><img alt="Orang Rimba hidup di bawah sudung, semacam tenda dari terpal dan kayu. Mereka hidup berpindah-pindah mencari apapun yang bisa untuk bertahan hidup. Foto: Pailin Wedel untuk Human Rights Watch" class="alignnone size-full wp-image-79159" height="463" sizes="(max-width: 900px) 100vw, 900px" src="https://www.mongabay.co.id/wp-content/uploads/2020/05/Sawit-HRW-7K6A7611_1665.jpg" srcset="https://www.mongabay.co.id/wp-content/uploads/2020/05/Sawit-HRW-7K6A7611_1665.jpg 900w, https://www.mongabay.co.id/wp-content/uploads/2020/05/Sawit-HRW-7K6A7611_1665-768x395.jpg 768w" width="900" /></p> <p><em>Orang Rimba hidup di bawah sudung, semacam tenda dari terpal dan kayu. Mereka hidup berpindah-pindah mencari apapun yang bisa untuk bertahan hidup. Foto: Pailin Wedel untuk Human Rights Watch</em></p> <p><img alt="" class="alignnone size-full wp-image-80141" height="606" sizes="(max-width: 1328px) 100vw, 1328px" src="https://www.mongabay.co.id/wp-content/uploads/2020/07/Madani-Screen-Shot-2020-07-04-at-9.46.43-PM.jpg" srcset="https://www.mongabay.co.id/wp-content/uploads/2020/07/Madani-Screen-Shot-2020-07-04-at-9.46.43-PM.jpg 1328w, https://www.mongabay.co.id/wp-content/uploads/2020/07/Madani-Screen-Shot-2020-07-04-at-9.46.43-PM-768x350.jpg 768w" width="1328" /></p> <p> </p> <p><strong>Siapa yang menikmati?</strong></p> <p>Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani mengatakan, nilai devisa yang disumbangkan bisnis sawit mencapai Rp289 triliun per tahun, namun petani dan rakyat kecil masih belum mendapatkan kesejahteraan dari industri ini.</p> <p>Industri sawit ini, katanya, dinilai banyak menguntungkan segelintir orang. Tata kelola bisnis ini hanya memberikan keuntungan kepada usaha, pebisnis dan tuan tanah yang memiliki lebih dari delapan hektar tanah.</p> <p>Dia bilang, banyak permasalahan kompleks dihadapi pada sektor perkebunan sawit, mulai masalah legalitas lahan hingga produktivitas petani minim.</p> <p>Ada sekitar 79% petani masih belum memiliki sertifikat tanah, 54% petani belum gunakan bibit bersertifikat pemerintah dan 71% petani tak memiliki kelembagaan resmi.</p> <p>“Hasil analisis kami, 90% petani sawit di Indonesia menanam benih tanpa ada pendampungan atau secara otodidak. Hingga produksi sawit pun tidak maksimal,” kata Teguh.</p> <p>Kondisi tambah buruk dengan banyak tengkulak sawit menekan tandan buah sawit (TBS) dengan harga sangat rendah. Berdasarkan data Madani, ada 73% petani menjual TBS ke tengkulak yang membuat harga sangat murah.</p> <p>Hasil analisis Yayasan Madani, upaya menyejahterakan masyarakat di daerah bisa fokus menyeimbangkan antar jenis komoditas. Contoh, di Jambi dan Riau, disebutkan memiliki kesejahteraan dari rata-rata nasional, namun masing hasing memiliki desa yang tak bersawit lebih besar, masing masing 77,2% (Jambi) dan 55,8% (Riau).</p> <p>Kedua daerah itu, katanya, memiliki komoditas unggulan lain seperti karet dan kelapa untuk Riau dengan produksi 2018 mencapai 400.000 ton per tahun. Karet dan kayu manis di Jambi dengan produksi masing-masing 300.000 dan 60.000 ton per tahun.</p> <p> </p> <figure id="attachment_78253" class="wp-caption alignnone"><img alt="" class="size-full wp-image-78253" height="601" sizes="(max-width: 900px) 100vw, 900px" src="https://www.mongabay.co.id/wp-content/uploads/2020/04/gajah-mati.jpg" srcset="https://www.mongabay.co.id/wp-content/uploads/2020/04/gajah-mati.jpg 900w, https://www.mongabay.co.id/wp-content/uploads/2020/04/gajah-mati-768x513.jpg 768w" width="900" /><figcaption class="wp-caption-text">Gajah sumatera jantan yang ditemukan membusuk di areal kebun sawit PT. Makmur Inti Bersaudara yang dulunya bekas HGU PT. Dwi Kencana Semesta di Aceh Timur, 15 April 2020. Foto: Dok. Forum Konservasi Leuser</figcaption></figure> <p><img alt="" class="alignnone size-full wp-image-80142" height="600" sizes="(max-width: 1307px) 100vw, 1307px" src="https://www.mongabay.co.id/wp-content/uploads/2020/07/Madani-Screen-Shot-2020-07-04-at-9.46.57-PM.jpg" srcset="https://www.mongabay.co.id/wp-content/uploads/2020/07/Madani-Screen-Shot-2020-07-04-at-9.46.57-PM.jpg 1307w, https://www.mongabay.co.id/wp-content/uploads/2020/07/Madani-Screen-Shot-2020-07-04-at-9.46.57-PM-768x353.jpg 768w" width="1307" /></p> <p> </p> <p><strong>‘Sejahtera’, tetapi…</strong></p> <p>Berdasarkan <span style="color: #339966;"><a style="color: #339966;" href="https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S0264837718314923">studi</a> </span>Santika dkk. terkait perubahan lanskap, mata pencaharian dan kesejahteraan desa di sekitar perkebunan sawit di Kalimantan memperlihatkan, masyarakat dari beberapa desa bersawit pendapatan lebih tinggi. Meskipun begitu, akses makanan, air, kesehatan lebih rendah dibadingkan desa yang tak menanam sawit.</p> <p>Adapun, manfaat ekonomi signifikan bagi masyarakat desa itu bersifat terbatas hanya pada desa mayoritas masyarakat memiliki pengetahuan pengelolaan perkebunan dan informasi ekonomi pasar, seperti desa yang punya perkebunan polikultur.</p> <p>Sedang desa yang mayoritas masyarakat bergantung pada mata pencaharian tradisional, seperti pertanian, berburu berladang dan memancing memang menfaat ekonomi hanya berlangsung beberapa tahun, namun memiliki modal sosial budaya lebih tinggi.</p> <p>Penelitian ini merekomendasikan, pemerintah negara produsen harus mengevaluasi tujuan pengembangan sawit tak hanya pada keuntungan ekonomi, juga memerlukan pemeliharaan kesejahteraan sosial-ekonomi pada komunitas lokal di masa depan.</p> <p>Indikator itu, menentukan keberhasilan apakah sektor sawit bisa membawa manfaat ekonomi dan kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh dan jangka panjang atau tidak.</p> <p> </p> <p><img alt="" class="alignnone size-full wp-image-80143" height="570" sizes="(max-width: 1293px) 100vw, 1293px" src="https://www.mongabay.co.id/wp-content/uploads/2020/07/Madani-Screen-Shot-2020-07-04-at-9.47.13-PM.jpg" srcset="https://www.mongabay.co.id/wp-content/uploads/2020/07/Madani-Screen-Shot-2020-07-04-at-9.47.13-PM.jpg 1293w, https://www.mongabay.co.id/wp-content/uploads/2020/07/Madani-Screen-Shot-2020-07-04-at-9.47.13-PM-768x339.jpg 768w" width="1293" /></p> <p> </p> <p><strong>Konflik dan bencana </strong></p> <p>Berdasarkan data Statistik Perkebunan Indonesia: Komoditas Sawit 2011-2018, laju penambahan lahan sawit tertanam pada 2017 mencapai 17,7% dibandingkan tahun sebelumnya. Angka ini tertinggi dalam kurun waktu delapan tahun terakhir.</p> <p>Kenaikan luas perkebunan sawit pada 2017, tercatat oleh Konsorsium Pembaharuan Agraria terjadi banyak konflik agraria di sektor perkebunan sawit. Pada 2017, ada 298 konflik, 2011 (97), 2012 (90), 2013 (90), 2014 (185), 2015 (127), 2016 (163) dan 2018 (144) kasus.</p> <p>“Persoalan sawit bukan masalah ekonomi semata tapi ada dampak lain yang dirasakan masyarakat tingkat tapak, yakni konflik agraria,” kata Trias.</p> <p>Dampak buruk lain dari perluasan lahan sawit seperti deforestasi, mengancam keragaman hayati, memicu konflik agraria dan menyebabkan kebakaran hutan.</p> <p>Bencana alam pun mengintai masyarakat. Kalau melihat provinsi yang alami deforestasi karena sawit, terjadi banjir dan longsor. Dia contohkan, Aceh, deforestasi tertinggi pada 2011, meski tidak langsung berdampak pada lingkungan, tetapi meningkatkan bencana longsor dan banjir tinggi pada 2015 dan 2018. Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana, pada kedua tahun itu masing-masing terjadi bencana 142 dan 190-an kejadian.</p> <p> </p> <p>Keterangan foto utama:  Kebakakaran di kebun sawit warga di lahan gambut, yang tak hanya meludeskan kebun juga kendaraan dan rumah mereka. Foto: Zamzami/ Mongabay Indonesia</p> <figure id="attachment_67063" class="wp-caption alignnone"><img alt="" class="size-full wp-image-67063" height="900" sizes="(max-width: 1200px) 100vw, 1200px" src="https://www.mongabay.co.id/wp-content/uploads/2018/12/Sawit03.jpeg" srcset="https://www.mongabay.co.id/wp-content/uploads/2018/12/Sawit03.jpeg 1200w, https://www.mongabay.co.id/wp-content/uploads/2018/12/Sawit03-768x576.jpeg 768w, https://www.mongabay.co.id/wp-content/uploads/2018/12/Sawit03-100x75.jpeg 100w" width="1200" /><figcaption class="wp-caption-text">Masalah lingkungan juga menjadi ancaman bagi industri sawit. Sawit yang diekspor juga ada sawit rakyat sehingga kita perlu perbaikan tata kelola. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.</figcaption></figure> <p> </p> <p>Itulah tadi informasi mengenai <b>Studi: Bisnis Sawit Tidak Selalu Sejalan dengan Kesejahteraan Masyarakat Setempat oleh - seputarplanetid.xyz<b> dan sekianlah artikel dari kami <a href="https://seputarplanetid.xyz">seputarplanetid.xyz</a>, sampai jumpa di postingan berikutnya. selamat membaca. </p>

Studi: Bisnis Sawit Tidak Selalu Sejalan dengan Kesejahteraan Masyarakat Setempat oleh - seputarplanetid.xyz

Halo sahabat selamat datang di website seputarplanetid.xyz , pada kesempatan hari ini kita akan membahas seputar Studi: Bisnis Sawit Tidak S...

Read more »